Anas ibn Malik menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:“Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia menghubungkan tali silaturahimya.”
Setiap muslim di dunia ini patut bersyukur bahwa di dalam syari'at islam terkandung nilai dan norma-norma yang sangat tinggi nilainya. Dan jika seluruh nilai dan norma yang merupakan “way of life” tersebut dijalankan secara menyeluruh, niscaya baik kita sadari walaupun tidak hal tersebut akan mendatangkan kemaslahatan baik di dunia maupun di kehidupan yang mendatang di akhirat kelak dan salah satu dari tuntunan hidup Islam tersebut adalah silaturahim
Menurut hadis Nabi, silaturahim mengandung dua kebaikan, yaitu memperpanjang umur dan menambah rezeki seperti yang diterangkan hadist rasulullah diatas yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik. Silaturahim dalam tuntunan Islam, merupakan suatu moment religi yang sangat luhur maknanya dan Silaturahim bagi masyarakat Indonesia bukan merupakan suatu hal yang asing ditelinga maupun dalam aktifitas kehidupan bersosial sehari-hari.
Penggunaan istilah “silaturahim” sendiri paling sering digunakan pada momentum Iedul Fitri ini. Akan tetapi masih banyak orang justru salah kaprah dalam menyebutkannya menjadi “silaturahmi” yang ternyata makna kalimatnya menjadi berbeda jauh. Istilah “silaturahim” berasal dari kata dalam bahasa arab “silah” yang artinya “menyambungkan” dan “rahim” yang artinya “kasih sayang dan pengertian”. Sehingga kalimat “silaturahim” maknanya adalah “menyambungkan kasih sayang dan pengertian”. Ini sangat berbeda dengan makna kata “silah” yaitu “menyambungkan” dan “rahmi” yang ternyata artinya adalah “rasa nyeri pada saat seorang ibu hendak melahirkan”. Sehingga kurang tepat dengan maksud penggunaan sebagai ungkapan makna kata ini untuk menggambarkan aktivitas saling berkunjung untuk mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan, namun uniknya justru istilah “silaturahmi” ini terlanjur lebih populer di tengah masyarakat Indonesia.
Konon kekurang tepatan penggunaan istilah ini terjadi karena masalah perbedaan dialek. Rumpun bahasa melayu termasuk bahasa daerah Sunda dan Jawa yang cukup kuat pengaruhnya di tengah masyarakat sulit di dalam mengucapkan kata-kata yang berasal dari serapan bahasa arab. Sehingga kata “silaturahim” karena dialek, berubahlah menjadi “silaturahmi” dan yang tanpa sengaja ternyata di dalam bahasa arab juga ada artinya namun memiliki perbedaan makna.
Secara harfiah pada asasnya silaturahim artinya menyambung persaudaraan atau menyambung tali kasih sayang dan dalam konteks keseharian kita sebagai masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam, pelaksanaan praktek silaturahim dapat dengan mudah kita jumpai. Namun jika dikaitkan dengan silaturahim dan moment Idul Fitri, mungkin ada dua istilah atau realisasi kegiatan silaturahim yang sangat familiar bagi masyarakat Indonesia yakni; “mudik lebaran” serta “halal bi halal” mungkin dua istilah yang menggambarkan suatu kegiatan atau aktivitas silaturahim ini boleh jadi menjadi ajang tahunan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Mudik Lebaran
Mudik Lebaran merupakan ciri khas masyarakat Indonesia yang mungkin jarang ditemui pada bangsa-bangsa manapun di dunia. Istilah Mudik atau pulang kampung sudah lama dijadikan masyarakat Indonesia, yang merantau dari kampungnya ke wilayah lain atau kenegara lain sebagai ajang silaturahim antar sesama kerabat. Para pemudik yang rata-rata merindukan nilai-nilai kebersamaan, itu berharap dengan mudik ketika lebaran bisa berkumpul bersama keluarga di hari yang fitri setelah sekian lama tidak bersua karena kesibukan masing-masing untuk saling memberi dan meminta maaf.
Mudik Lebaran menurut KH.Hasyim Muzadi, merupakan sebuah rutinitas tahunan yang senantiasa terjadi menjelang Idul Fitri. Menurut beliau mudik ke kampung halaman menjelang Idul Fitri sesungguhnya ajang latihan nyata menjelang kepulangan ke akhirat, serta menyiratkan makna terdalam dari proses penciptaan manusia oleh Sang Khaliq dan beliaupun memandang mulia setiap mereka yang bisa mudik ke kampung halaman. Karena mudik itu merupakan interpretrasi waktu yang tersisa selama berjuang di tanah rantau, untuk bisa berbagi dengan saudara-saudara di kampung halaman.
Lebih lanjut lagi Emha Ainun Nadjib dalam bukunya ‘Sedang Tuhan pun Cemburu’ menulis, orang beramai-ramai mudik sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya. Cak Nun panggilan akrab Emha Ainun Nadjib menambahkan secara akar runtutan historis, setiap orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan, komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak dan ibu, alam semesta yang berpangkal atau berujung dari Allah. Kesadaran ini diwujudkan para pemudik dengan bersusah payah bisa berada di tengah-tengah keluarga dan sanak kerabat tatkala Idul Fitri tiba, dalam sebuah perhelatan silaturahim dengan saling memaafkan serta menunaikan kewajiban membayar zakat.
Sedangkan Abdul Munir Mulkhan, seorang tokoh dan pemikir Islam, berpendapat bahwa tradisi mudik di Hari Raya merupakan prosesi ritual yang mengandung banyak makna dan ajaran tentang silaturahim atau menyambung cinta-kasih serta ajaran untuk saling minta maaf bagi seseorang saat menyadari telah berbuat salah pada orang lain.
Mudik ketika Idul Fitri memiliki nilai-nilai kekerabatan hakiki yang perlu terus digali dan ditumbuh suburkan. Ini artinya, Lebaran juga bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk menanamkan nilai-nilai silaturahim kepada diri kita maupun keluarga kita. Bagaimana kita mesti bersikap kepada kedua orang tua, sanak-kerabat, tetangga, atau handai taulan ketika bermudik lebaran. Namun pada kenyataan tidak semua masyarakat Indonesia yang beragama Islam mampu dalam melakukan ritual silaturahim tahunan ini baik itu secara rutin atau sesekali, karena ketika melakukan “mudik lebaran” kita semua sadar diperlukan juga berbagai bentuk kesiapan, baik itu materi, tenaga, fikiran dan lain-lainya.
Halal bi Halal
“halal bi halal”. Meskipun ungkapan ini menggunakan bahasa arab, namun justru kurang familiar bagi orang arab sendiri. Karena dari segi tata bahasa arab tidak dikenal susunan kata yang semacam ini, mirip seperti kasus ungkapan “minal ‘aidin wal faizin” yang oleh sebagian ulama dikatakan: mungkin asalnya adalah ungkapan dalam bahasa lokal yang dibahasa-arab-kan. Arti “halal bi halal” kurang lebih adalah “halal bertemu halal”. Asal usul frasa ini pun ada banyak versi dan setiap daerah di Indonesia nampaknya punya sejarah masing-masing yang berbeda.
Kalangan pesantren dan kaum santri misalnya mengatakan bahwa bersama dengan ucapan ini, kedua belah pihak sepakat untuk saling menghalalkan segala sesuatu yang semula haram diantara mereka. Atau dalam bahasa yang sederhana “saling memaafkan satu sama lain”. Kegiatan “halal bi halal” ini kemudian oleh beberapa ulama diberikan rujukan dalil di dalam Al Quran sebagai landasan ritual budaya yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat Indonesia tersebut.untuk meningkatkan dan menjaga kerukunan serta keharmonisan dalam hubungan bermasyarakat.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Quraish Shihab menerangkan dalam bukunya Lentera Hati: Makna bentukan kata yang berasal dari “halal” antara lain berarti “menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan dan mencairkan yang beku”. Maka “halal bi halal” diterjemahkan sebagai kegiatan untuk “meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang beku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan masalah yang menghalangi terjalinnya keharmonisan hubungan”.
Dari segi budaya, “halal bi halal” dimaknai sebagai kesempatan untuk silaturahim, saling memaafkan dan mempererat pertalian kekeluargaan serta kekerabatan yang ini diyakini akan mampu menciptakan keharmonisan dan meningkatkan kerukunan diantara sesama di dalam masyarakat. Upaya ini mudah dipahami karena suku bangsa Indonesia memang amat erat persaudaraannya. Sehingga momentum “halal bi halal” dipandang sebagai suatu tuntunan ajaran agama, bagian dari ritual sekaligus sarana melestarikan budaya. mewakili budaya saling memaafkan sepanjang bulan Syawal (setelah bulan Ramadhan). Karena agama Islam mengajarkan bahwa pada bulan suci Ramadhan semua dosa diampuni Allah SWT kecuali dosa kepada sesama ummat manusia. Sehingga di bulan Syawal banyak dilakukan ritual budaya “halal bi halal” yaitu berkumpulnya handai taulan untuk saling memaafkan yang umumnya diselenggarakan melalui acara yang dirayakan secara besar-besaran mengundang sebanyak-banyaknya kerabat atau kelompok-kelompok pergaulan masyarakat. Bahkan bagi sebagian kalangan tokoh masyarakat atupun pejabat dikenal istilah “open house” .
Mungkin sedikit penjelasan mengenai silaturahim dengan konteks “halal bi halal” diatas memberikan gambaran nilai-nilai luhur dalam bersosial kemasyarakatan dalam menyambung silaturahim demi menjaga ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan dalam Islam. Dan mari berdoa semoga semakin banyak diantara kita semua yang diberikan kelonggaran rezeki sehingga akan semakin banyak dan sering umat muslim mengulurkan tangan menyambung silaturahim apakah dengan konteks “halal bi halal” atau dalam konteks ber-silaturahim sesuai tuntunan islam yang lainya.
Sebagai penutup dalam tulisan singkat ini, Setiap tahun, terutama menjelang hari raya Idul Fitri jutaan umat Islam yang berada di tanah rantau pulang atau mudik ke kampung halamannya masing-masing. Tujuannya untuk bersilaturahim dengan orangtua, keluarga maupun kerabat lainnya sambil berlibur, bernostalgia, Mereka menjadikan Idul Fitri sebagai moment penting untuk melaksanakan kegiatan silaturahim. Sungguh tradisi ini patut diperhatikan sebagai manifestasi ajaran Islam yang telah di bawa baginda Rasulullah SAW. Namun tidak jarang hubungan diantara mereka yang berada di kota dan di kampung sedemikian renggang bahkan terputus akibat berbagai faktor penyebab. Dan dengan mudik lebaran yang bermotifkan silaturahim ini akan terjalin lagi hubungan tersebut; akan tersambung kembali yang selama ini putus serta terhimpun apa yang terserak. Yang demikian inilah yang dinamakan hakikat silaturahim.
Nabi saw. Bersabda: “Tidak bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (yang dinamakan bersilaturahim adalah) yang menyambung apa yang putus” (Hadis Riwayat Bukhari). Itulah puncak silaturahim, yang dapat diwujudkan oleh mereka yang mudik dan juga oleh mereka yang tetap tinggal di rumah bila ia berusaha mengingat-ingat siapa yang hatinya pernah terluka oleh ulahnya atau atau yang selama ini jarang dikunjungi akibat faktor kesibukan atau dengan alasan lainya lalu mengundangnya untuk bersilaturahim kerumah ketika acara “halal bi halal”, hal seperti inilah yang dinamakan dengan menyambung kembali yang putus, menghangatkan, dan bahkan mencairkan yang beku.
Namun sebenarnya silaturrahmi tidak perlu dibatasi hanya pada saat hari raya Idul Fitri. Setiap saat kita umat muslim dianjurkan untuk menebar salam, menjalin silaturahim, semoga dengan bersilaturahim, fitnah bisa diredam, salah faham bisa terkoreksi, permusuhan bisa menurun. Juga melalui silaturahim diharapkan segala penyertaan beban emosi negatif yang bersumber dari konflik negatif yang biasanya diawali dari konflik interpersonal diantara kita dalam hubungan kita sehari-hari dengan siapapun dalam lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan kita dapat lenyap, luluh dan sirna dari bathin kita, dengan adanya saling meminta maaf dan saling memaafkan ketika bersilaturahim.
Dan bagi umat muslim yang tidak sempat untuk “mudik Lebaran” guna menyambung silaturahim dengan sanak keluarga dan handai taulan di kampung halaman atau kurang memiliki kemampuan keuangan untuk membuat acara “halal bi halal” ataupun open house kecil-kecilan jangan berkecil hati, sesungguhnya Allah maha mengetahui yang mana yang baik buat kita semua, boleh jadi Allah.SWT memberikan kesempatan buat kita dilain waktu atau dalam konteks silaturahim yang berbeda namun memiliki nilai ibadah yang tidak kurang dimata Allah.SWT, oleh karena itu mari tetap “khusnudzon” atau berfikiran positif terhadapNya dan Semoga kita dapat mengambil hikmah dari apapun bentuk aktivitas silaturahim yang bisa kita lakukan dan semoga itu menjadi kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT bagi kita semua karena dengan terhubungnya silaturahim, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik,..Wallahu’alam bi shawab.
Menurut hadis Nabi, silaturahim mengandung dua kebaikan, yaitu memperpanjang umur dan menambah rezeki seperti yang diterangkan hadist rasulullah diatas yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik. Silaturahim dalam tuntunan Islam, merupakan suatu moment religi yang sangat luhur maknanya dan Silaturahim bagi masyarakat Indonesia bukan merupakan suatu hal yang asing ditelinga maupun dalam aktifitas kehidupan bersosial sehari-hari.
Penggunaan istilah “silaturahim” sendiri paling sering digunakan pada momentum Iedul Fitri ini. Akan tetapi masih banyak orang justru salah kaprah dalam menyebutkannya menjadi “silaturahmi” yang ternyata makna kalimatnya menjadi berbeda jauh. Istilah “silaturahim” berasal dari kata dalam bahasa arab “silah” yang artinya “menyambungkan” dan “rahim” yang artinya “kasih sayang dan pengertian”. Sehingga kalimat “silaturahim” maknanya adalah “menyambungkan kasih sayang dan pengertian”. Ini sangat berbeda dengan makna kata “silah” yaitu “menyambungkan” dan “rahmi” yang ternyata artinya adalah “rasa nyeri pada saat seorang ibu hendak melahirkan”. Sehingga kurang tepat dengan maksud penggunaan sebagai ungkapan makna kata ini untuk menggambarkan aktivitas saling berkunjung untuk mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan, namun uniknya justru istilah “silaturahmi” ini terlanjur lebih populer di tengah masyarakat Indonesia.
Konon kekurang tepatan penggunaan istilah ini terjadi karena masalah perbedaan dialek. Rumpun bahasa melayu termasuk bahasa daerah Sunda dan Jawa yang cukup kuat pengaruhnya di tengah masyarakat sulit di dalam mengucapkan kata-kata yang berasal dari serapan bahasa arab. Sehingga kata “silaturahim” karena dialek, berubahlah menjadi “silaturahmi” dan yang tanpa sengaja ternyata di dalam bahasa arab juga ada artinya namun memiliki perbedaan makna.
Secara harfiah pada asasnya silaturahim artinya menyambung persaudaraan atau menyambung tali kasih sayang dan dalam konteks keseharian kita sebagai masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam, pelaksanaan praktek silaturahim dapat dengan mudah kita jumpai. Namun jika dikaitkan dengan silaturahim dan moment Idul Fitri, mungkin ada dua istilah atau realisasi kegiatan silaturahim yang sangat familiar bagi masyarakat Indonesia yakni; “mudik lebaran” serta “halal bi halal” mungkin dua istilah yang menggambarkan suatu kegiatan atau aktivitas silaturahim ini boleh jadi menjadi ajang tahunan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Mudik Lebaran
Mudik Lebaran merupakan ciri khas masyarakat Indonesia yang mungkin jarang ditemui pada bangsa-bangsa manapun di dunia. Istilah Mudik atau pulang kampung sudah lama dijadikan masyarakat Indonesia, yang merantau dari kampungnya ke wilayah lain atau kenegara lain sebagai ajang silaturahim antar sesama kerabat. Para pemudik yang rata-rata merindukan nilai-nilai kebersamaan, itu berharap dengan mudik ketika lebaran bisa berkumpul bersama keluarga di hari yang fitri setelah sekian lama tidak bersua karena kesibukan masing-masing untuk saling memberi dan meminta maaf.
Mudik Lebaran menurut KH.Hasyim Muzadi, merupakan sebuah rutinitas tahunan yang senantiasa terjadi menjelang Idul Fitri. Menurut beliau mudik ke kampung halaman menjelang Idul Fitri sesungguhnya ajang latihan nyata menjelang kepulangan ke akhirat, serta menyiratkan makna terdalam dari proses penciptaan manusia oleh Sang Khaliq dan beliaupun memandang mulia setiap mereka yang bisa mudik ke kampung halaman. Karena mudik itu merupakan interpretrasi waktu yang tersisa selama berjuang di tanah rantau, untuk bisa berbagi dengan saudara-saudara di kampung halaman.
Lebih lanjut lagi Emha Ainun Nadjib dalam bukunya ‘Sedang Tuhan pun Cemburu’ menulis, orang beramai-ramai mudik sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya. Cak Nun panggilan akrab Emha Ainun Nadjib menambahkan secara akar runtutan historis, setiap orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan, komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak dan ibu, alam semesta yang berpangkal atau berujung dari Allah. Kesadaran ini diwujudkan para pemudik dengan bersusah payah bisa berada di tengah-tengah keluarga dan sanak kerabat tatkala Idul Fitri tiba, dalam sebuah perhelatan silaturahim dengan saling memaafkan serta menunaikan kewajiban membayar zakat.
Sedangkan Abdul Munir Mulkhan, seorang tokoh dan pemikir Islam, berpendapat bahwa tradisi mudik di Hari Raya merupakan prosesi ritual yang mengandung banyak makna dan ajaran tentang silaturahim atau menyambung cinta-kasih serta ajaran untuk saling minta maaf bagi seseorang saat menyadari telah berbuat salah pada orang lain.
Mudik ketika Idul Fitri memiliki nilai-nilai kekerabatan hakiki yang perlu terus digali dan ditumbuh suburkan. Ini artinya, Lebaran juga bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk menanamkan nilai-nilai silaturahim kepada diri kita maupun keluarga kita. Bagaimana kita mesti bersikap kepada kedua orang tua, sanak-kerabat, tetangga, atau handai taulan ketika bermudik lebaran. Namun pada kenyataan tidak semua masyarakat Indonesia yang beragama Islam mampu dalam melakukan ritual silaturahim tahunan ini baik itu secara rutin atau sesekali, karena ketika melakukan “mudik lebaran” kita semua sadar diperlukan juga berbagai bentuk kesiapan, baik itu materi, tenaga, fikiran dan lain-lainya.
Halal bi Halal
“halal bi halal”. Meskipun ungkapan ini menggunakan bahasa arab, namun justru kurang familiar bagi orang arab sendiri. Karena dari segi tata bahasa arab tidak dikenal susunan kata yang semacam ini, mirip seperti kasus ungkapan “minal ‘aidin wal faizin” yang oleh sebagian ulama dikatakan: mungkin asalnya adalah ungkapan dalam bahasa lokal yang dibahasa-arab-kan. Arti “halal bi halal” kurang lebih adalah “halal bertemu halal”. Asal usul frasa ini pun ada banyak versi dan setiap daerah di Indonesia nampaknya punya sejarah masing-masing yang berbeda.
Kalangan pesantren dan kaum santri misalnya mengatakan bahwa bersama dengan ucapan ini, kedua belah pihak sepakat untuk saling menghalalkan segala sesuatu yang semula haram diantara mereka. Atau dalam bahasa yang sederhana “saling memaafkan satu sama lain”. Kegiatan “halal bi halal” ini kemudian oleh beberapa ulama diberikan rujukan dalil di dalam Al Quran sebagai landasan ritual budaya yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat Indonesia tersebut.untuk meningkatkan dan menjaga kerukunan serta keharmonisan dalam hubungan bermasyarakat.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Quraish Shihab menerangkan dalam bukunya Lentera Hati: Makna bentukan kata yang berasal dari “halal” antara lain berarti “menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan dan mencairkan yang beku”. Maka “halal bi halal” diterjemahkan sebagai kegiatan untuk “meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang beku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan masalah yang menghalangi terjalinnya keharmonisan hubungan”.
Dari segi budaya, “halal bi halal” dimaknai sebagai kesempatan untuk silaturahim, saling memaafkan dan mempererat pertalian kekeluargaan serta kekerabatan yang ini diyakini akan mampu menciptakan keharmonisan dan meningkatkan kerukunan diantara sesama di dalam masyarakat. Upaya ini mudah dipahami karena suku bangsa Indonesia memang amat erat persaudaraannya. Sehingga momentum “halal bi halal” dipandang sebagai suatu tuntunan ajaran agama, bagian dari ritual sekaligus sarana melestarikan budaya. mewakili budaya saling memaafkan sepanjang bulan Syawal (setelah bulan Ramadhan). Karena agama Islam mengajarkan bahwa pada bulan suci Ramadhan semua dosa diampuni Allah SWT kecuali dosa kepada sesama ummat manusia. Sehingga di bulan Syawal banyak dilakukan ritual budaya “halal bi halal” yaitu berkumpulnya handai taulan untuk saling memaafkan yang umumnya diselenggarakan melalui acara yang dirayakan secara besar-besaran mengundang sebanyak-banyaknya kerabat atau kelompok-kelompok pergaulan masyarakat. Bahkan bagi sebagian kalangan tokoh masyarakat atupun pejabat dikenal istilah “open house” .
Mungkin sedikit penjelasan mengenai silaturahim dengan konteks “halal bi halal” diatas memberikan gambaran nilai-nilai luhur dalam bersosial kemasyarakatan dalam menyambung silaturahim demi menjaga ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan dalam Islam. Dan mari berdoa semoga semakin banyak diantara kita semua yang diberikan kelonggaran rezeki sehingga akan semakin banyak dan sering umat muslim mengulurkan tangan menyambung silaturahim apakah dengan konteks “halal bi halal” atau dalam konteks ber-silaturahim sesuai tuntunan islam yang lainya.
Sebagai penutup dalam tulisan singkat ini, Setiap tahun, terutama menjelang hari raya Idul Fitri jutaan umat Islam yang berada di tanah rantau pulang atau mudik ke kampung halamannya masing-masing. Tujuannya untuk bersilaturahim dengan orangtua, keluarga maupun kerabat lainnya sambil berlibur, bernostalgia, Mereka menjadikan Idul Fitri sebagai moment penting untuk melaksanakan kegiatan silaturahim. Sungguh tradisi ini patut diperhatikan sebagai manifestasi ajaran Islam yang telah di bawa baginda Rasulullah SAW. Namun tidak jarang hubungan diantara mereka yang berada di kota dan di kampung sedemikian renggang bahkan terputus akibat berbagai faktor penyebab. Dan dengan mudik lebaran yang bermotifkan silaturahim ini akan terjalin lagi hubungan tersebut; akan tersambung kembali yang selama ini putus serta terhimpun apa yang terserak. Yang demikian inilah yang dinamakan hakikat silaturahim.
Nabi saw. Bersabda: “Tidak bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (yang dinamakan bersilaturahim adalah) yang menyambung apa yang putus” (Hadis Riwayat Bukhari). Itulah puncak silaturahim, yang dapat diwujudkan oleh mereka yang mudik dan juga oleh mereka yang tetap tinggal di rumah bila ia berusaha mengingat-ingat siapa yang hatinya pernah terluka oleh ulahnya atau atau yang selama ini jarang dikunjungi akibat faktor kesibukan atau dengan alasan lainya lalu mengundangnya untuk bersilaturahim kerumah ketika acara “halal bi halal”, hal seperti inilah yang dinamakan dengan menyambung kembali yang putus, menghangatkan, dan bahkan mencairkan yang beku.
Namun sebenarnya silaturrahmi tidak perlu dibatasi hanya pada saat hari raya Idul Fitri. Setiap saat kita umat muslim dianjurkan untuk menebar salam, menjalin silaturahim, semoga dengan bersilaturahim, fitnah bisa diredam, salah faham bisa terkoreksi, permusuhan bisa menurun. Juga melalui silaturahim diharapkan segala penyertaan beban emosi negatif yang bersumber dari konflik negatif yang biasanya diawali dari konflik interpersonal diantara kita dalam hubungan kita sehari-hari dengan siapapun dalam lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan kita dapat lenyap, luluh dan sirna dari bathin kita, dengan adanya saling meminta maaf dan saling memaafkan ketika bersilaturahim.
Dan bagi umat muslim yang tidak sempat untuk “mudik Lebaran” guna menyambung silaturahim dengan sanak keluarga dan handai taulan di kampung halaman atau kurang memiliki kemampuan keuangan untuk membuat acara “halal bi halal” ataupun open house kecil-kecilan jangan berkecil hati, sesungguhnya Allah maha mengetahui yang mana yang baik buat kita semua, boleh jadi Allah.SWT memberikan kesempatan buat kita dilain waktu atau dalam konteks silaturahim yang berbeda namun memiliki nilai ibadah yang tidak kurang dimata Allah.SWT, oleh karena itu mari tetap “khusnudzon” atau berfikiran positif terhadapNya dan Semoga kita dapat mengambil hikmah dari apapun bentuk aktivitas silaturahim yang bisa kita lakukan dan semoga itu menjadi kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT bagi kita semua karena dengan terhubungnya silaturahim, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik,..Wallahu’alam bi shawab.
Satukan tangan,satukan hati
indahnya silaturahim di hari yang fitri
Di hari kemenangan kita padukan
keikhlasan untuk saling memaafkan…
Kuala Lumpur,2010
Budi Hamuddin
Ps; Article ini dimuat di majalah TKI, Kuala Lumpur. Edisi September 2010 dlm versi yg agak sdikit berbeda.
0 comments:
Post a Comment