Pages

Monday, August 31, 2009

Indonesia-Malaysia, akur2 yaa!!!




Salam damai..

Sabtu siang ketika saya mengikuti acara pemilihan ketua persatuan pelajar indonesia university Malaya, karena acara lgi di pending maka iseng2 saya mengaktifkan laptop dan membuka fesbuk, siapa tahu ada yang beri komen di status atw ada email nyasar ke inbox saya.. dari sekian banyak email yg masuk ke inbox saya, ad satu email yg sangat menarik berasal dari kawan lama yg dulu sering berjibaku di salah satu organisasi kemahasiswaan waktu dulu.. kawan itu bernama kadriyani arsyad, email yg bernada curiosity dgn sedikit bumbu emosi nampak explicit dalam email yg ia tulis kpd saya, emailx kurang lebih seperti ini;


Ass.. Alkum wr wbr!K budi, sebgai orang satu2nya yg sy kenal yg tinggal di negri J.... Mly, ingin nanya sedalam2nya bgm pandanganta' terhadp org2 atau masyrkt sana.Sy takut jng sampai kebencianku terhdp MLY saat ini hanya karena pengaruh media. Now, i hate MLY so much! Thanks before! Wassalam...
……

Saya fikir email dari kawan lama saya ini merepresentasikan fikiran dan perasaan sebagian masyarakat Indonesia terhadap M’sia. Jadi setelah berfikir sejenak ditengah riuh-ramainya kawan Indonesia di IPS (institute postgraduate studies) universiti malaya saat itu, yang sedang melaksanakan prosesi pemilihan ketua baru untuk masa jabatan 2009-2010. maka kucoba menjawab dengan jawaban retorik dan berdasarkan pengalaman saya sendiri selama kurang lebih 3.tahun disini..

......

To; kadriyani
Alhamdullilah sy baik ....waah.. wacanax booming yaa di t4 kadriyani??? sehingga harus justifying kesaya..hahaha, tpi itu pertanyaan yg sangat rasional sekali, sebagai warga negara yang memiliki solidaritas serta sifat nasionalis yang baik... my thumb rise 4 u... saya coba jawab yaa... moga2 bisa memberikan gambaran sedikit........
Media leads us to the point that they want to put us, if u strictly follow u'll be in that position. Need a second opinion when justifying something, and need a critical thinking if u wanna survive... (from; buku pengantar CDA/critical discourse analysis)

Scara pribadi saya suka belajar disini, segalanya lebih mudah, teratur jga terkonsep.. pada dasarx baik m'sia maupun d indonesia karakter orng2x g jauh berbeda, respek terhadap org yg memiliki ilmu atw orang2 yg sedang menuntut ilmu, sebaliknya terkadang underestimate terhadap org2 yg dari segi ekonomi maupun tingkt pendidikan yg jauh d bwh mreka... secara umum jika membahas konflik ataupun menilai benar-salah, lebih maju atw lebih di bidang perbidang antara m'sia maupun indonesia diperlukan kajian serius krn konflicitas maupun kompleksitas dari hubungan kedua negara bertetangga ini. 
Disatu sisi ketika sisi nasionalisme Indonesia tersentuh saat m'sia mengclaim apa yg menurut Indonesia itu milik Indonesia... baik itu lagu rasa sayange, batik, reok ponorogo dan masih banyak lagi, namun tak pernah kah kita berfikir apa yg dilakukan lebih dari 2 juta rakyat indonesia di m'sia yng cuman kurang dari setengahnya adalah pelajar serta expatriat (org2 bekerja secara profesional).. sisanya adalah TKI yang yang sebagian besar adalah PATI atw pendatang asing tanpa ijin yg dulunx di kenal disini dgn istilah pendatang haram. tentu saja jumlah tenaga kerja illegal segede itu itu juga akan memantik masalah2 sosial... 
Urusan klaim-mengklaim antara m'sia maupun indonesia, perlu di tempatkan secara proporsional.. kita sadar hubungn m'sia indonesia mengalami pasang surut, semenjak 52 tahun belakangan ini.saran sya buat kwanku yg satu ini,... ataupun kepada negeriku, adalah sbb….. namun sy akan memulai dengan kalimat umum yg sering kita dengar, indonesia malaysia adalah serumpun, or malaysia dulux belajar kepada indonesia... Indonesia memang serumpun, namun istilah serumpun nampakx lebih menguntungkan m'sia,.. kenapa ??.. apa karena skrg murid (baca; m'sia) lebih pintar dari guru (baca; indonesia), sehingga sering ngibulin sang guru, atw karena si murid rajin belajar, tekun bin ligat namun disisi lain sang guru nggak ngupdate ilmux sehingga si murid semakin lihai mempermainkan sang guru..hahaha...solusinya menurut kawan2 hasil diskusi warung kopi versi m’siswa kurang kerjaan disini; ketika malaysia pintar bermanuver indonesia harusx lebih pintar lagi, ktika m'sia berfikir kreatif maka indonesia harus lebih berfikir dan berkreasi lebih kreatif lagi,.. jangan cuman bisa mengedepankan "esmosi"..

eniwei..karena kadriyani sama sperti sy, sama2 lulusan fakultas keguruan, .. mari kita bikin suatu wacana; profil guru yang cuman bisa marah2 kan biasax dirumahx lagi banyak masalah intern atw guru yg applicable ilmux atau level keilmuanx di dlm klas tersaingi atw bahkan terlewati sehingga harus ditutupin dgn kmarahan (moro2) kpd si murid oleh figur sang guru tersebut..haha..benar nggak?

bocoran yaaa... disini karena pers di kontrol oleh negara maka masyarakat g disibukkan dan dihabiskan waktunya dengan masalah2 seperti ini,.. mereka lebih diarahkan untuk mengurusi masalah2 prinsipel sperti, pendidikan, ekonomi ... atw mencari solusi dengan melakukan penelitian (applied research) terhadap masalah masakini yg dihadapi oleh m'sia.. dan beruntungx saat ini saya bisa menikmati pendidikan di salah satu universitas, yg menjadi pilar applied research baik di tingkat ..bla.bla.bla (di sensor karena lebih mengarah kepada memuji diri sendiri dan malaysia..hahaha)
So its up to us, we still wanna angry with them, or study or updating our knowledge and be smarter than before (baca; malaysia)…
cheers,
budianto.h
Kawan lama yng slalu berdoa semoga cepat bisa selesai study so bisa cepat pulang bwt ngebangun bangsa negara juga segera pulang untuk merried.... n org yg juga slalu berdoa agar indonesia dan m’sia jgn mau di adu domba oleh media or pihak ke3 …. wish me luck dear


Itulah jawaban yg kukirimkan kpd kawan lamaku itu, kawan yg dulu sangat solider kpd sy soalx sama2 se jurusan, kawan yg lebih beruntung, kenapa saya katakan bgitu, setelah dipertemukan oleh media fesbuk setelah bertahun2 tak ketemu tanpa ad kabar berita.. tanpa nyana dia telah terlebih dahulu kawin n sdh punya anak..nah saya… calon istri aja nggak ada…hahahaha

kembali ke persoalan hubungan bilateral antara M’sia dan Indonesia, kedua negara memang mengalami pasang-surut sejak m’sia mendapatkan kemerdekaanx pada 52 tahun lalu yang jatuh tepat pada hari ini 31 agustus.

Tanpa kita pungkiri M’sia dan Indonesia memang serumpun, sama2 memerlukan dan sama2 tak terpisahkan baik dari sejarah maupun ethno-geographis… namun hubungan Indonesia-M’sia tak selalu mulus dalam rentang waktu 52 tahun ini. Kenapa ini bisa terjadi….??? apakah indonesia yang kurang bisa bersikap atau malaysia sudah mulai arogan atau Apakah ada yg mencoba mengail di air keruh???.. perlu kajian lebih mendalam dilaksanakan mengenai hal ini, sama seperti yg sarankan kpd kawanku si penulis email diatas,..

2 tahun yg lepas ketika kami masih dalam kepengurusan PPIUM (persatuan pelajar Indonesia-Univ.Malaya), kami diminta membantu 1st international conference hubungan Indonesia-malaysia, yg di gagas oleh dua negara untuk meperbicangkan permasalahan hubungan kedua2 negara dalam tataran akademis,. Lalu di lanjutkan di tataran pengambil keputusan dengan dibentuknya Eminent Persons Group (EPG) kedua negara yang berlangsung di Jakarta. EPG Indonesia diketuai mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, pihak Malaysia ketuanya Datuk Tun Musa Hitam. Tujuan EPG mempererat kembali tali persaudaraan kedua bangsa melalui lajur berbagai profesi.

Eniwei…Hubungan Indonesia-Malaysia tegang menurut saya pribadi hanya karena satu alasan, yakni kehadiran sekitar dua juta TKI di negeri jiran M’sia. Selama problem klasik ini tak diselesaikan secara serius, ketegangan ala konfrontasi itu menjadi bahaya laten yang mudah termanifestasi menjadi konflik serius.

Namun dengan atau tanpa konfrontasi, pendapat pribadi saya, Malaysia menganggap kedua negara bagai dua saudara yang kadang kala bertengkar. Kakak berharap adiknya bersikap hormat, sebaliknya adik merasa kakak cepat naik pitam. Jika disimpulkan, separuh kalangan di Malaysia mungkin merasa Indonesia sebagai kiblat historis dan kultural yang layak dicontoh, separuhnya lagi tak begitu peduli dengan ketegangan-ketegangan yang terjadi.

Sebaliknya, tak sedikit kalangan di Indonesia yang mudah terprovokasi dengan isu-isu bilateral yang membuat kondisi bagaikan api di dalam sekam, seperti kasus Ambalat, batik, dan lagu Rasa Sayangé. Dan, lain2 salah satu kalangan yang menyulutkan api ke bensin adalah justru pers Indonesia. Sebagai contoh sebuah hasil penelitian kawan seorang peneliti media yang baru saja sy baca, Dalam kurun waktu Mei-Oktober 2007 terdapat hampir 5.000 berita media cetak tentang ketegangan bilateral kedua negara. Hanya lima persen yang bernada positif, selebihnya menjelek-jelekkan Malaysia.

Di lain pihak media Malaysia justru cenderung menyembunyikan berita-berita yang menyulut emosi. Sebagai negeri yang pernah diserbu pasukan Indonesia, mereka paham pemberitaan yang memanas-manasi sama sekali tidak menguntungkan.

Indonesia dan M’sia memang memiliki kultur konfrontasi, Grafik hubungan RI-Malaysia naik turun sejak konfrontasi awal 1960-an. Kedua bangsa memang serumpun, tetapi sejarah dan sistem politiknya bagai siang dan malam. Malaysia dijajah Inggris yang sistem kolonialismenya ”bagus” dibandingkan Belanda yang ”kejam”. RI berjuang untuk merdeka, tanggal kemerdekaan Malaysia mesti dapat persetujuan dari Inggris dulu.Malaysia sebuah monarki konstitusional, Yang Dipertuan Agung menjadi simbol dan pemerintah dipimpin perdana menteri. Indonesia sebuah republik yang merebut kemerdekaan melalui perjuangan dan diplomasi. Konstitusi Malaysia menyebut Islam sebagai agama resmi, tetapi judi diizinkan di Genting Highland meskipun hanya untuk warga Malaysia non-Islam dan warga asing. Sementara UUD 1945 secara implisit menyebut Indonesia sebagai negara sekuler.

Kondisi obyektif memang memperlihatkan Malaysia saat ini lebih maju dari indonesia, baik dari segi ekonomi, pendidikan maupun infrastruktur, beberapa langkah didepan. namun haruskah itu membuat atau memantik sifat cemburu atau arogan, dari dua negara yang bagaikan kakak-adik (versi m'sia; adik-beradik) ini.

Tidakkah, seharusnya aroma atw atmosphere konfrontasi klassik kedua negara diubah menjadi energi positif menjadi suatu kompetisi sehat dan fair dimana 2 dua negara bisa saling adopsi apa yang menjadi kelebihan masing2 tentu saja dengan mengedepankan etika serumpun dan semangat saling support antara adik-kakak, mungkin sebagai contoh malaysia bisa mengadopsi seni budaya indonesia seperti lagu2 yg sering di katakan menjajah blantika musik malaysia (sebenarnya banyak contoh, tapi contoh ini diambil karena pada saat tulisan ini di buat, penulis lagi duduk dgn kawan baru anak malaysia, yang sudah seharian mendengarkan penulis menyetel lagu2 indonesia dan ketika saya mangatakan saya punya banyak koleksi top hits lagu2 indonesia, apakah cik mau mengcopy..??, dan dengan mata yg sangat berbinar ia menjawab naaakkkk!! Yang artinya mauuu sekali..haha)

Dan disisi lain Indonesia bisa mencontoh malaysia dari segi infrastruktur pendidikan;..saya masih ingat 2,5 tahun yang lalu ketika penulis masih menjadi bagian dari tim sepakbola pelajar indonesia univ.malaya yang mengikuti pertandingan dalam rangka mengkuti peringatan kemerdekaan RI di univ.kebangsaan malaysia di bangi, disela-sela acara istirahat, para kawan2 indonesia dari berbagai kampus di m’sia saling memuji infrastruktur yg dimiliki kampus masing2, sampai akhirnya salah seorang kawan dari UKM nyeletuk, apa jadinya yaa jika infrastruktur sperti itu ada di kampus2 indonesia, orang2 kita pasti akan merajai dunia.. tanpa infrastruktur yg memadai aja kita bisa bersaing, apalagi klw infrastrukturnya bagus...juara terusss pastinya!!! Hhahahaha


Eniwei... selamat Ultah Malaysia ..akur2 yaa dengan indonesia
Budianto Hamuddin
Fakulti Bahasa dan linguistics
UM.KL

NB;
Tulisan ini di buat di dataran sastra dikarenakan perpustakaan utama universiti Malaya tutup, karena menyambut ULTAH M’sia yg ke 52 yang bertepatan hari ini 31 agustus 2009.
And buat bung Rahmat Hidayat, selamat yaa karena sudah terpilih untuk mengemban amanah PPIUM untuk periode 2009-2010… harus lebih maju yaa lagi dari kepengurusan kemaren!!







Monday, August 24, 2009

Hukum-Hukum Seputar Ibadah Shaum

 
Dalil kewajiban shaum.


فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Siapa saja di antara kalian yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah. (QS al-Baqarah [2]: 185).


Dalil shaum juga didasarkan pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang menyatakan:


«اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهاَدَةِ اَنْ لاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; beribadah haji; dan shaum Ramadhan.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).


Shaum wajib Bagi yang Balig dan Berakal

Karena itu, secara pasti shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah balig dan berakal. Dalam hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk berpuasa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:


«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ»

Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga orang: dari anak kecil hingga balig; dari orang yang tidur hingga dia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras. (HR Abu Dawud).


Wanita Haid dan Nifas Tidak Wajib Puasa


Wanita haid dan nifas juga tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka adalah tidak sah. Jika mereka telah suci dari haid maka mereka wajib meng-qadha’ puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


«فِي الْحَيْضِ كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ»

Karena haid, kami telah diperintahkan untuk meng-qadha’ shaum, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).


Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ?


Siapa saja yang tidak kuasa untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu, seperti orang yang sudah sangat tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum baginya sangat berat, lalu orang yang sakit yang penyakitnya tidak mungkin disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib untuk berpuasa; tetapi mereka wajib untuk membayar fidyah sebagai gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah SWT:


وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu hal yang berat/kesempitan bagi kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).


Allah SWT juga berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Bagi orang-orang yang menanggung beban berat dalam berpuasa, mereka wajib memberikan fidyah, yakni memberi makan orang miskin. (QS al-Baqarah [2]: 184).


Ada juga hadis penuturan Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


«وَمَنْ اَدْرَكَهُ الْكِبَرُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضاَنَ فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّ مِنْ قَمْحٍ»

Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut, lalu dia tidak kuasa untuk melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk mengeluarkan satu mud gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni) .


Ibn Umar ra. juga menuturkan hadis:


«اِذَا ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ اَطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا»

Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum, hendaknya ia memberikan makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni) .


Dari Anas ra. juga dikatakan:


«أَنَّهُ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ وَفاَتِهِ فَافْطَرَ وَاَطْعَمَ»

Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum sepanjang tahun sebelum wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang miskin. (HR ath-Thabrani dan al-Haitasmi) .


Siapa Yang diwajibkan Qodho Puasa ?


Jika seseorang tidak kuasa untuk berpuasa karena sakit dan ia khawatir sakitnya bertambah parah, ia juga tidak wajib untuk berpuasa, karena di dalamnya ada rasa berat sehingga dia boleh berbuka. Kemudian, jika dia sembuh maka dia wajib untuk meng-qadha’-nya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:


فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia mengganti puasanya pada hari yang lain sejumlah yang ditinggalkannya. (QS al-Baqarah [2]: 184).


Jika seseorang sedang berpuasa, lalu ia jatuh sakit, ia boleh berbuka, karena keadaan sakit memang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.


Bagaimana Shaum Bagi yang Safar (melakukan Perjalanan ) ?

Sementara itu, berkaitan dengan seorang musafir, jika safar yang dilakukannya tidak mencapai empat barid atau 80 kilometer, ia wajib tetap berpuasa; ia tidak boleh berbuka. Alasannya, karena safar/perjalanan yang menghasilkan adanya rukhshah (keringanan) untuk berbuka adalah safar syar‘i (bukan semata-mata safar, peny.), yakni empat barid, yang setara dengan 80 km. Jika seorang musafir melakukan safar sejauh 80 km atau lebih maka ia boleh untuk tetap berpuasa dan boleh juga berbuka. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:

`

«اِنَّ حَمْزَةَ اِبْنِ عَمْرُوْ اْلاَسْلَمِي قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَأَصُوْمُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَاِنْ شِئْتَ فَاَفْطِرْ»

Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Islami pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, “Perlukah aku berpuasa di dalam perjalanan?” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau mau, berpuasalah. Jika engkau mau, berbukalah.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ashab as-Sunan).


Berpuasa Bagi Yang Safar Lebih Utama ?

Bagi musafir yang puasanya tidak menjadikan dirinya merasa berat/sempit maka tetap berpuasa adalah lebih utama. Sebab, Allah SWT telah berfirman:


وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ

Berpuasa itu adalah lebih baik bagi kalian. (QS al-Baqarah [2]: 184).


Sebaliknya, jika puasanya ternyata telah membebani dirinya, maka dia lebih utama untuk berbuka. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:


«مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ بِرَجُلٍ تَحْتَ شَجَرَةٍ يُرَشُ عَلَيْهِ الْماَءُ فَقَالَ: مَا بَالَ هَذَا؟ قَاُلْوا: صَائِمٌ. فَقَالَ: لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ»

Dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang berteduh di bawah pohon sambil menyiramkan air ke tubuhnya. Beliau lalu bertanya, “Mengapa orang ini?” Para Sahabat menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Mendengar itu, Beliau kemudian bersabda, “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan.” (HR an-Nasa’i).


Bagaimana Qodho Wanita Hamil ?

Adapun wanita hamil dan menyusui, mereka boleh untuk berbuka, lalu meng-qadha’-nya di luar bulan Ramadhan, baik karena ia khawatir atas dirinya, khawatir atas dirinya dan bayinya, atau semata-mata khawatir atas bayinya; atau bahkan ia tidak memiliki kekhawatiran apapun. Pasalnya, kebolehan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa semata-mata didasarkan pada statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui, tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki kekhawatiran ataukah tidak (akan kondisi dirinya dan bayinya, peny.). Ketentuan ini didasarkan pada apa yang telah dikukuhkan oleh hadis Nabi saw. dalam Ash-Shahihayn, sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik al-Ka‘bi. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:


«اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحاَمِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ»

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dalam shaum dan sebagian shalatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan menyusui adalah dalam shaumnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).


Hadis di atas tidak memberikan batasan tertentu terkait dengan kebolehan seseorang untuk tidak berpuasa. Hadis tersebut bahkan menyebutkan kebolehan itu secara mutlak bagi wanita hamil dan menyusui, semata-mata karena statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui.

Lalu terkait dengan kewajiban wanita hamil dan menyusui untuk meng-qadha’ shaum yang ditinggalkannya, hal itu didasarkan pada alasan bahwa mereka memang wajib untuk berpuasa. Ketika mereka memutuskan untuk tidak berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar dengan cara di-qadha’. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. yang menyatakan:


«اِنَّ اِمْرَأَةً قاَلَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَنِّ اُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذَرٍ، أَفَاَصُوْمُ عَنْهَا؟ فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْكاَنَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ اَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكَ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ اُمِّكِ»

Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw., ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar. Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya?” Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?” Wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Rasul lalu bersabda, “Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang puasa ibumu.” (HR Muslim).


Kemudian, tidak adanya kewajiban atas wanita hamil dan menyusui untuk membayar fidyah, hal itu karena dalam hal ini memang tidak ada nash yang menunjukkannya.


Bagaimana Keharusan merukyat hilal bulan Ramadhan.?

Shaum Ramadhan hanya diwajibkan atas kaum Muslim saat sudah terlihat hilal (bulan sabit tanggal 1) bulan Ramadhan. Jika pada saatnya hilal Ramadhan terhalang dari pandangan manusia, maka kaum Muslim wajib menggenapkan bilangan bulan Sya‘ban (menjadi 30 hari), lalu besoknya mereka harus sudah mulai berpuasa. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ، وَلاَ تَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً»

Berpuasalah kalian karena merukyat hilal dan berbukalah kalian (mengakhiri puasa Ramadhan, peny.) juga karena melihat hilal (bulan sabit tanggal 1 Syawal, peny.). Jika hilal terhalang dari pandangan kalian maka genapkanlah bilangan bulan Sya‘ban. Janganlah kalian kalian menyambut bulan itu (dengan berpuasa, peny.). (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ahmad, dan ad-Darimi).


Haruskah Shaum didahului niat ?.

Shaum Ramadhan, sebagaimana juga shaum-shaum lainnya, hanya dipandang absah jika didahului dengan niat. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.:


«اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ»

Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niatnya. (HR Muslim)..


Niat wajib dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan. Pasalnya, shaum pada masing-masing hari merupakan ibadah yang berdiri sendiri, yang waktunya dimulai dari terbit fajar dan diakhiri saat matahari terbenam. Shaum pada hari ini tidak bisa ikut-ikutan rusak oleh rusaknya puasa pada hari-hari sebelumnya maupun hari-hari sesudahnya. Karena itulah, tidak cukup satu niat untuk berpuasa sebulan penuh. Akan tetapi, niat harus dilakukan setiap hari.


Kapan Niat Dilakukan

Sahum Ramadhan ataupun shaum-shaum wajib lainnya tidak sah dilakukan jika niatnya baru dilakukan siang hari. Niat shaum wajib dilakukan pada malam hari. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Hafshah:

«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَبِيْتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ»

Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tidak ada puasa baginya.” (HR an-Nasa’i dan ad-Darimi).


Niat boleh dilakukan pada bagian malam manapun sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar karena seluruhnya termasuk bagian dari malam hari.


Bagaimana Dengan Niat Shaum Sunnah ?

Adapun niat shaum sunnah boleh dilakukan setelah terbit fajar sebelum matahari tergelincir. . Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:


«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَصْبَحَ اليَوْمُ، عِنْدَكُمْ شَيْءٌ تُطْعِمُوْنَ؟ فَقَالَتْ: لاَ. فَقَالَ: اِنِّي إِذًا صَائِمٌ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bertanya, “Apakah pagi ini ada sesuatu (makanan) untuk kalian makan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada.” Nabi saw. kemudian berkata, “Kalau begitu, aku akan berpuasa saja.” (HR Ahmad).


Niat shaum Ramadhan juga harus ditentukan. Artinya, seseorang yang hendak berpuasa harus menyatakan diri bahwa ia memang berniat untuk shaum Ramadhan pada hari itu, karena ia merupakan bentuk taqarrub kepada Allah yang terkait dengan waktu pelaksanaannya. Hanya saja, niat tidak mesti dinyatakan secara verbal, tetapi cukup dengan adanya maksud di dalam kalbu. Niat juga hanya dianggap sah jika secara pasti dimaksudkan untuk melaksanakan shaum Ramadhan pada hari tertentu karena menentukan niat pada masing-masing hari adalah wajib.


Kapan Waktu pelaksanaan shaum?.

Waktu pelaksanaan shaum dimulai sejak terbit fajar, yakni fajar shâdiq (waktu subuh) dan diakhiri dengan terbenamnya matahari (saat magrib). Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Umar ra:


«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذاَ أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَاَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Jika malam telah datang dari sini, siang telah berakhir dari sini, dan matahari pun sudah tenggelam, maka orang-orang yang berpuasa berbuka saat itu. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).


Allah SWT juga berfirman:


(وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian putih-hitamnya sang fajar, lalu sempurnakanlah shaum hingga tiba waktu malam. (QS al-Baqarah [2]: 187).


Jika seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum, sementara dia ingat bahwa dia sedang berpuasa, dan dia pun tahu bahwa makan-minum itu haram saat puasa, maka batallah puasanya, karena ia melakukan perkara yang dilarang dalam puasa tanpa ada uzur.


Bagaimana Meneteskan Obat Ke Dalam Hidung ?

Jika orang yang sedang berpuasa meneteskan obat ke dalam hidung atau memasukkan air ke lubang telinganya hingga sampai ke otaknya, batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Luqaith bin Shabrah ra. yang menyatakan:


«قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوْءِ. قَالَ: اَسْبِغِ الْوُضُوْءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلاَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشاَقِ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا»

Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., beritahulah aku tentang cara berwudhu.” Beliau bersabda, “Sempurnakanlah wudhu, renggangkalah jari-jemari, optimalkanlah menghirup air lewat hidung (ber-istinsyâ q), kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).


Berkaitan dengan hadis di atas, pemahaman kebalikan (mafhûm mukhâlafah)-nya adalah larangan untuk tidak secara optimal (banyak-banyak) ber-istinsyâq saat berpuasa hingga tidak ada sedikit pun air yang sampai ke otak. Ini berarti, adanya air yang sampai ke otak adalah haram bagi orang yang berpuasa dan membatalkan puasanya. Makan, minum, menghirup sesuatu melalui hidung, dan meneteskan air ke dalam lubang telinga pengertiannya meliputi memasukkan apa saja; baik yang biasa dimakan dan diminum seperti nasi, air, tembakau, dan sejenisnya; ataupun yang biasa diteteskan melalui hidung, telinga, dan sejenisnya. Semua ini membatalkan puasa.


Bagaimana Hubungan Suami Istri Saat Shaum ?

Orang yang sedang berpuasa juga dilarang melakukan hubungan suami-istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ

Sekarang, campurilah mereka. (QS al-Baqarah [2]: 187).


Ayat ini menunjukkan, bahwa mencampuri istri tidak dibolehkan sebelum sekarang ini, yakni pada siang hari bulan Ramadhan.. Apabila yang dicampuri itu kemaluan maka batallah puasa. Jika yang dicampurinya selain kemaluan, atau sekadar mencium tetapi sampai membuat keluar air mani (sperma), maka batal pula puasa seseorang; tetapi jika tidak sampai membuat keluar sperma maka puasanya tidak batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:


«قَبَلْتُ وَاَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: قَبَلْتُ، وَاَنَا صَائِمٌ. فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ وَاَنْتَ صَائِمٌ»

Aku pernah mencium (istriku) saat sedang berpuasa. Aku lalu menjumpai Nabi saw., kemudian bertanya, “Aku telah mencium (istriku), sementara aku sedang berpuasa.” Rasul saw. lalu bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur pada waktu engkau berpuasa?” (HR Ahmad).


Dalam hadis ini. Nabi saw. telah menyerupakan aktivitas mencium dengan berkumur; jika air sampai tertelan, batallah puasa seseorang; sedangkan jika tidak maka puasanya tidak menjadi batal. Demikian pula halnya dengan mencampuri istri pada selain kemaluan atau sekadar menciumnya.

Batalkah Orang Yang Sengaja Muntah ?

Jika seorang yang sedang berpuasa dengan sengaja membuat dirinya muntah maka batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:


«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang telah memancing dirinya agar muntah dengan sengaja, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Siapa saja yang muntah (tanpa disengaja), ia tidak wajib mengqadha’ puasanya.’” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Kalau Lupa ?

Semua hal di atas jika dilakukan/terjadi dengan catatan, yakni jika orang yang berpuasa melakukannya dengan sengaja. Adapun jika ia melakukakannya karena lupa maka puasanya tidak menjadi batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


«مَنْ اَفْطَرَ فِي شَّهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضاَءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفاَرَةَ»

Siapa saja yang berbuka pada bulan Ramadhan karena lupa, ia tidak wajib meng-qadha’ dan tidak wajib pula membayar kafarah. (HR at-Tirmidzi) .


Ketentuan di atas juga dirdasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari dari Nabi saw. yang pernah bersabda:


«اِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ اَوْشَرَبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ»

Jika seseorang yang sedang berpuasa lupa sehingga dia makan atau minum maka sempurnakanlah (lanjutkanlah) puasanya. Sebab, itu hanyalah kehendak Allah yang (dengan sengaja) telah memberinya makan dan minum. (HR al-Bukhari Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Melakukan Hubungan Suami Istri Padahal Sudah Terbit Fajar ?

Jika seseorang makan atau melakukan hubungan suami-istri dengan alasan karena dia menduga bahwa fajar belum terbit, padahal ternyata fajar telah terbit, atau ia mengira bahwa matahari telah terbenam, padahal matahari belum terbenam, maka batallah puasanya dan ia wajib meng-qadha’-nya. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Hanzhalah ra. yang mengatakan:


«كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَفِي السَّمَاءِ شَيْءٌ مِنَ السَّحَابِ. فَظَنَّناَ أَنَّ الشَّمْسَ قَدْ غَابَتْ فَاَفْطَرَ بَعْضُ النَّاسِ فَاَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ كَانَ قَدْ اَفْطَرَ اَنْ يَصُوْمَ يَوْمًا مَكَانَهُ»

Saat kami berada di Madinah pada bulan Ramadhan, ketika langit dalam keadaan berawan, kami mengira matahari telah terbenam. Lalu sebagian orang berbuka. Karena itu, Umar ra. menyuruh agar orang yang terlanjur berbuka untuk berpuasa pada hari lain sebagai penggantinya. (HR al-Baihaqi dan al-Haitsami) .


Ketetapan ini juga didasarkan pada hadis penuturan Hisyam bin Urwah dari Fathimah, istrinya, dari Asma’ yang mengatakan:


«اَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ. قِيْلَ لِهِشاَمِ: اُمِرُوْا بِالْقَضَاءِ. قَالَ: لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ»

Pada masa Rasulullah saw. kami pernah berbuka saat langit dalam keadaan mendung, kemudian matahari masih tampakt. Kepada Hisyam dikatakan, “Mereka disuruh meng-qadha’ puasa.” Dia lalu berkata, “Tentu saja harus meng-qadha’ puasa.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Orang yang Berbuka Tanpa Uzur ?

Siapa saja yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzur, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

«مَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ»

Siapa saja yang memancing dirinya agar muntah, ia wajib meng-qadha’-nya. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).


Nabi saw. juga pernah bersabda:


«فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ بِالْقَضَاءِ»

Utang kepada Allah lebih layak untuk dibayar. (HR Muslim).


Bagaimana yang melakukan hubungan suami istri tanpa uzur ?


Adapun orang yang berbuka karena melakukan hubungan suami-istri tanpa uzur, maka di samping wajib meng-qadha’ puasanya, ia juga wajib membayar kafarah. Pasalnya, Nabi saw. sendiri telah menyuruh orang yang menyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadhan agar meng-qadha’ puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:


«جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: وَمَا اَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ،.قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ ماَ تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. ثُمَّ جَلَسَ فَاَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقِ فِيْهِ تَمَرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. فَقَالَ: أَعَلَى اَفْقَرِ مِنَّا فَمَا بَيْنَ ِلاِبْتِيْهَا اَهْلَ بَيْتِ اَحْوَجَ اِلَيْهِ مِنَّا؟ فَضَحَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ, ثُمَّ قَالَ: اِذْهَبْ فَاَطْعِمْهُ اَهْلَكَ»

Seorang laki-laki pernah menjumpai Nabi saw. Ia lalu berkata, “Celakalah aku, wahai Rasulullah!” Rasul kemudian bertanya, “Apa yang telah mencelakaknmu?” Dia menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan istriku saat siang hari pada bulan Ramadhan.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki harta yang dapat memerdekakan hamba sahaya?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki harta yang bisa memberi makan kepada enam puluh orang miskin?” Dia menjawab, “Tidak juga.” Kemudian dia duduk, sementara Nabi saw. datang dengan membawa bakul besar yang penuh dengan kurma. Setelah itu, Nabi saw. bersabda, “Bersedekalah engkau dengan kurma ini!” Namun, orang itu berkata, “Apakah kepada orang yang paling fakir di antara kami? Sungguh, tidak ada di daerah kami penduduk yang lebih membutuhkan kurma ini daripada kami sekeluarga.” Mendengar itu, Nabi saw. tertawa hingga gigi taringnya tampak. Beliau kemudian bersabda, “Kalau begitu, pulanglah. Lalu beri makanlah keluargamu dengan kurma ini!” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).


Inilah kafarah wajib yang harus ditunaikan oleh orang yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan dengan menggauli istrinya secara sengaja.


Bagaimana Hukum Makan Sahur ?

Orang yang berpuasa disunnahkan untuk makan sahur. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Anas ra.:


«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَسَحَّرُوْا فَإِنًّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur itu terkandung berkah.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).


Apa Sunnah Berbuka ?

Orang yang berpuasa juga disunnahkan berbuka dengan makan kurma. Jika kurma tidak ada, ia disunnahkan berbuka dengan minum air. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Salman bin Amir yang mengatakan:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا اَفْطَرَ اَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمَرٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَاِنَّهُ طَهُوْرٌ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika seseorang di antara kalian berbuka, berbukalah dengan kurma; jika ia tidak mendapatkannya, berbukalah dengan air karena air itu suci.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).


Bagaimana Sunnah Doa Berbuka ?

Selanjutnya, saat berbuka puasa seseorang disunnahkan untuk membaca doa berikut:


«اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ»

Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.


Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang mengatakan:


«كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَذَا صَامَ ثُمَّ اَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ»

Rasulullah saw. itu, jika berpuasa, lalu berbuka, Beliau biasa mengucapkan, “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan berkat rezeki-Mu aku berbuka.” (HR Abu Dawud).


Orang yang berpuasa Ramadhan juga disunnahkan untuk menyambung puasanya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Ayyub ra. berikut:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَالٍ كَانَ كَصِياَمِ الدَّهْرِ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian menyambungnya dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti telah berpuasa sepanjang tahun. (HR Muslim).


Pada hari Arafah, selain jamaah haji disunnahkan berpuasa. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Qatadah ra.:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَوْمُ عَاشُوْرَاءَ كَفاَرَةُ سَنَةٍ وَصَوْمُ يَوْمَ عَرَفَةٍ كَفَارَةُ سَنَتَيْنِ سَنَةٌ قَبْلَهَا مَاضِيَةً وَسَنَةٌ بَعْدَهَا مُسْتَقْبَلَةً»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Puasa Asyura adalah kafarah (dari dosa) satu tahun. Puasa Arafah adalah kafarah (dari dosa) dua tahun; satu tahun sebelumnya dan satu tahun berikutnya.” (HR Ahmad).


Puasa Asyura disunnahkan berdasarkan hadis Abu Qatadah di atas. Disunnahkan pula puasa pada hari sebelum Asyura, yakni tanggal sembilan Muharram. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Ibnu Abbas ra.:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَئِنْ بَقَيْتُ اِلَى قَابِلٍ َلأَصُوْمَنَّ الْيَوْمَ التَّاسِعَ»

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Andai aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (bulan Muharram). (HR Ibn Majah dan Ahmad).


Dalam hadis riwayat Muslim, hadis di atas ditambah dengan kalimat berikut:


«فَلَمْ يَأْتِ الْعَامَ الْمُقْبِلَ حَتَّى تُوُفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

Tahun depan belum juga tiba, Rasulullah saw. telah terlebih dulu wafat. (HR Muslim).


Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram dan hari Tasu’a’ adalah hari kesembilan dari bulan tersebut.

Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari-hari putih (al-baydh), yakni puasa tiga hari pada tiap-tiap bulan. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. sebagai berikut:


«اَوْصَانِي خَلِيْلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ كُلَّ شَهْرٍ»

Kekasihku (Rasulullah) saw. pernah berwasiat kepadaku agar berpuasa tiga hari pada setiap bulan. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).


Puasa tiga hari ini boleh dilakukan pada hari apa saja tanpa harus ditentukan. Hanya saja, yang dianggap utama adalah pada tanggal 13, 14 dan 15. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Dzarr ra.:


«قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثًا، فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشَرَةَ»

Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).


Ketetapan di atas juga didasarkan pada hadis penuturan Jarir bin Abdillah dari Nabi saw. yang pernah bersabda:


«صِيَامُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ مِِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ، اَيَّامُ البَيْضِ، ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ»

Puasa tiga hari pada setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun, yakni puasa hari-hari putih, adalah: tanggal 13, 14, dan 15. (HR Muslim, an-Nasa’i, Ahmad dan ad-Darimi).


Disunnahkan pula untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang mengatakan:


«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ اْلاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ»

Sesungguhnya Nabi saw. telah memilih waktu untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis. (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).


Selamat menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1430.Hijriyah
--------------------------------------------------------------------------------

Sumber : Ahkâm ash-Shalâh. Mesir: Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, Cet. 1, 1991, Karya al-Ustadz Ali Ragib, Guru Besar Universitas al-Azhar asy-Syaried Kairo, Mesir.