Pages

Friday, July 20, 2012

Duel Classico


Memasuki atau di akhir Bulan Ramadhan setiap tahun biasanya terjadi perbedaan pendapat mengenai penentuan methode penanggalan baik yang menggunakan Rukyat atau Hisab. Boleh dikatakan "Rukyat vs Hisab" sudah menjadi "duel classico" di bulan Ramadhan. apa itu Rukyat dan Hisab itu sebenarnya dan siapa-siapa ormas pengusungnya.

Beberapa saat yang lalu saya mendapat sebuah article yg sangat bagus dan menarik dari FB kawan yang membahas tentang itu dan ingin saya share disini agar kita semakin jelas dan bisa mengambil sikap ketika Ramadhan tiba dan bukan sekedar ikut-ikutan.

yah sedikit banyaknya article dibawah ini bisa kita jadikan referensi dalam mengambil sikap. but anyhow Diluar konteks perbedaan penggunaan methode ataupun "ikut siapa". .. besar harapan kita semua, agar Islam tidak teradu domba oleh pihak2 yang tidak ingin Islam menjadi "Rahmatan Lil Alamien".

......................


RELEVANSI HILAL DAN TUMPULNYA ILMU ASTRONOMI KITA
Masalah perbedaan perhitungan awal ramadhan, penetapan Idul Fitri, penetapan Idul Adha janganlah membuat kita sebagai umat muslim terpecah belah dan saling menyalahkan satu sama lain, kita diberikan akal pikiran oleh Allah , agar akal n pikiran itu bisa kita gunakan dengan baik untuk berfikir , alangkah sayangnya jika punya akal tetapi masih tidak di gunakan dengan baik oleh pemiliknya. Dalam masalah perbedaan perhitungan hari ini tidak lepas dari peran 2 ormas terbesar islam di Indonesia yaitu : Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
 Nahdatul Ulama (NU) menggunakan metode RUKYAT
 Muhammadiyah menggunakan metode HISAB.
Berikut ulasannya :
1. RUKYAT
adalah aktifitas yang dilakukan sekelompok orang untuk mengamati penampakan Hilal atau bulan sabit yang paling awal, dan akan terlihat setelah Bumi dan Bulan berada diposisi bujur langit yang sama atau pada saat Matahari terbenam. Setiap awal bulan (tidak hanya bulan Ramadhan) selalu ditandai dengan munculnya Hilal, dalam bahasa yang lebih mudah, Hilal adalah cahaya redup dan sangat tipis yang terpancar dari Matahari di Bulan dan dibayangi oleh Bumi. Kita mungkin mengetahui ketika Bulan purnama, atau bulan dalam kondisi terang sepenuhnya, perhitungan kalender menunjukkan tepat tanggal 15 atau pertengahan suatu bulan. Begitu juga ketika Bulan dalam kondisi gelap total, kalender menunjukkan tepat diakhir suatu bulan atau tanggal 30, 31, maupun 29 atau 28 tergantung kalender bulannya (Januari, februari, maret, dan seterusnya…).
Dalil atau dasar dari penggunaan cara ini dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri adalah dengan Hadits Rasulullah Muhammad SAW : “Berpuasalah kamu karena telah melihat hilal, dan beridulfitrilah karena telah melihat hilal”. (HR. Jamaah ahli Hadits).
2. HISAB
adalah perhitungan ilmiah secara matematis dan astronomi untuk menentukan posisi bulan, baik dalam posisi awal bulan, pertengahan, maupun akhirnya. Dan menjadi dasar dalam penentuan kalender Hijriyah yang digunakan banyak negara-negara Islam didunia. Salah satu contoh nyata dari cara Hisab ini adalah penentuan JADWAL WAKTU SHOLAT FARDHU, baik Sholat Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya yang sering kita terima ketika awal bulan Ramadhan dan dibagi-bagikan oleh ormas Islam maupun Departemen Pemerintah sendiri. Didalam Hisab ini, dapat ditentukan secara terperinci tentang kapan waktu Sholat Dzuhur sampai kedetiknya.
Kita mungkin tidak menyadari bahwa cara Hisab inilah yang juga digunakan untuk menentukan awal Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, mungkin karena pemahaman kita diputarbalikkan oleh media masa dengan istilah-istilah Hilal, Hisab, Rukyat dan lain-lain tanpa dijelaskan apa maksudnya dalam bahasa Indonesia.
Jika dalam jadwal waktu sholat fardhu saja kita menerima secara mentah-mentah untuk mengikuti perhitungannya atau Hisab-nya dalam melakukan sholat Fardhu sehari-hari tanpa ragu, lalu kenapa dalam perhitungan atau Hisab pada bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri yang dikeluarkan oleh ahli Hisab banyak yang ragu? Secara logika, jika kita melakukan Rukyat atau melihat awal bulan untuk menentukan awal Ramadhan maka seharusnya kita pun harus melihat Matahari ketika menentukan waktu Sholat Dzuhur, tidak perlu lagi melihat Jadwal Waktu Sholat yang diberikan oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Itu jika kita ingin konsisten dengan pendirian kita. Tapi apakah itu yang anda inginkan dizaman sekarang?
Dalam tanggapan beberapa ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Mustafa az-Zarqa, dan Yusuf al-Qaradhawi perintah Rukyat/Melihat bulan itu adalah perintah yang ber’illat atau perintah yang beralasan. Alasan kenapa harus melihat bulan adalah karena umat Muslim pada zaman Rasulullah SAW pada umumnya adalah ‘ummi’ atau belum mengenal baca tulis dan belum bisa melakukan perhitungan ilmiah secara matematis dan astronomi atau Hisab, dalam hadits disebutkan “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi, dalam arti tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab” (riwayat jamaah ahli hadis).
Lebih lanjut menurut Rasyid Rida, tugas Rasulullah SAW adalah untuk membebaskan umatnya dari keadaan ‘ummi’ itu dan beliau tidak boleh membiarkan mereka terus dalam keadaan ‘ummi’ tersebut. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah, “Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka sendiri untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan kebijaksanaan. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [Q. 62:2]. Dari kenyataan ini kemudian Rasyid Rida menyimpulkan bahwa “hukum keadaan ‘ummi’ berbeda dengan hukum keadaan telah mengetahui baca-tulis dan kebijaksanaan.”
Maksud beliau adalah, pada zaman di mana orang belum dapat melakukan perhitungan ilmiah secara matematis atau hisab, seperti di zaman Rasulullah SAW, maka digunakan cara Rukyat dalam penentuan awal bulan karena itulah sarana yang tersedia pada zaman itu. Akan tetapi setelah masyarakat mengalami perkembangan peradaban yang pesat di mana penguasaan astronomi sudah sedemikian canggih, maka tidak diperlukan lagi Rukyat. Ini sejalan pula dengan kaidah hukum Islam yang menyatakan, [Al-Hukmu Yaduuru Ma'al 'Illati Wujudan Kaana au 'Adaman] “Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat.” Artinya apabila Hisab belum bisa dilakukan karena belum ada yang menguasainya, maka digunakan Rukyat. Akan tetapi setelah umat tidak lagi ‘ummi’ di mana penguasaan astronomi telah maju dan dapat diterapkan secara akurat, maka perintah Rukyat tidak berlaku lagi. Kita cukup menggunakan Hisab. Bahkan Syeikh Ahmad Syakir seorang ahli hadis – yang oleh al-Qaradawi dikatakan sebagai seorang Salafy tulen yang biasanya hanya mengamalkan hadis secara harfiah – menegaskan, “Pada waktu itu adalah saya dan beberapa kawan saya termasuk orang yang menentang pendapat Syaikh Akbar itu (yakni Syeikh al-Maraghi yang berpandangan Hisab). Sekarang saya menyatakan bahwa ia benar, dan saya menambahkan: wajib menetapkan Hilal/Awal Bulan dengan Hisab/Perhitungan Ilmiah Matematis dan Astronomi dalam segala keadaan, kecuali di tempat tidak ada orang yang mengetahui ilmu itu.”
Rasyid Rida, az-Zarqa, dan al-Qaradawi menyatakan bahwa Rukyat itu bukan bagian dari ibadah itu sendiri dan bukan tujuan Syariah, melainkan hanya sarana (wasilah) saja. Oleh karena itu apabila kita telah menemukan wasilah yang lebih akurat, maka kita harus menggunakan sarana yang lebih akurat tersebut. Secara khusus al-Qaradawi menegaskan, “mengapa kita tetap jumud harus bertahan dengan sarana yang tidak menjadi tujuan Syariah sendiri.”
Apabila kita mengamati semangat al-Quran, kita melihat bahwa kitab suci ini memerintahkan pengorganisasian waktu secara cermat karena kalau tidak akan menimbulkan kerugian (QS. 103: 1-3). Tetapi kitab ini tidak hanya memerintahkan melakukan pengorganisasian waktu saja secara cermat, tetapi juga memberi beberapa petunjuk pokok tentang caranya. Yaitu dengan mengamati langit dan berbagai benda langit yang ada. Dalam kaitan ini Allah menegaskan bahwa Matahari dan Bulan itu dapat diprediksi dan dihitung geraknya [QS. 55: 5]. Ini bukan hanya sekedar penegasan deklaratif semata, melainkan merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan supaya dilakukan perhitungan karena banyak kegunaannya bagi kehidupan manusia. Antara lain kegunaannya adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan penandaan waktu [QS. 10: 5]. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa semangat al-Quran sendiri adalah hisab, bukan rukyat. Hal ini membawa seorang ulama Yordania, Syeikh Syaraf al-Qudhah, kepada kesimpulan bahwa, “Pada asasnya penentuan awal bulan adalah dengan hisab.”
Jadi demikianlah ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw sebagaimana difahami oleh ulama-ulama tersebut. Sekarang kita lanjutkan, selain alasan syar’i di atas masih ada sejumlah alasan ilmiah dan praktis. Pertama, pengamalan rukyat mengakibatkan tidak bisa membuat sistem penanggalan. Alasannya sederhana, yakni awal bulan baru, baru bisa diketahui pada h-1 dan tidak bisa diketahui jauh hari sebelumnya. Menurut Prof. Dr. Idris Bensari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, umat Islam sampai hari ini belum dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan berlaku secara terpadu bagi seluruh umat Islam dunia disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat.
Penggunaan rukyat telah mengakibatkan timbul beberapa masalah sivil dan agama. Kaum minoritas Muslim pekerja di Eropa dan Amerika tidak dapat meminta cuti hari raya (id), karena setiap kali mereka mengajukannya ke perusahaan tempat mereka bekerja, mereka ditanya tanggal berapa id itu jatuh, agar bisa disiapkan pengganti mereka hari itu, mereka tidak dapat memberikan jawaban pasti, karena jatuhnya hari id itu baru dapat ditentukan sehari sebelumnya melalui rukyat dan tidak dapat ditentukan jauh hari sebelumnya karena tidak ada kalender yang pasti. Karena tidak dapat memberikan kepastian mereka tidak dapat diberi cuti.
Kedua, rukyat tidak dapat menyatukan tanggal dan karenanya tidak dapat menyatukan momen-momen keagamaan umat Islam di seluruh dunia dalam hari yang sama. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda hari selebrasi momen keagamaan mereka. Hal itu karena pada hari terjadinya rukyat awal bulan baru, rukyat itu terbatas jangkauannya dan tidak meliputi seluruh permukaan bumi. Akibatnya ada bagian muka bumi yang sudah berhasil rukyat, dan ada bagian muka bumi yang tidak dapat merukyat. Yang sudah berhasil rukyat memasuki bulan baru malam itu dan keesokan harinya, sedang yang belum dapat merukyat memasuki bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan hari raya misalnya. Untuk dapat melihat kenyataan ini, mari kita lihat beberapa proyeksi dan visualisasi rukyat ke atas peta bumi, seperti berikut [perhitungan dan peta dibuat berdasarkan al-Mawaqit ad-Daqiqah].
Ditambah lagi dengan hadis Kuraib yang menyatakan bahwa rukyat tidak dapat ditranfer ke kawasan yang tidak berhasil merukyat seperti rukyat Damaskus tidak dapat ditransfer ke Madinah sebagaimana ditegaskan dalam hadis tersebut meskipun kedua kota ada yang mengatakan rukyat dapat ditransfer (diberlakukan ke daerah yang tidak bisa merukyat) sejauh batas salat belum dapat diqasar. Ada yang berpendapat boleh ditransfer ke negeri berdekatan, bahkan ada yang berpendapat boleh transfer rukyat ke seluruh dunia, walapun pendapat ini secara astronomis adalah mustahil. Di zaman modern, para pendukung kalender bizonal (kalender yang membagi dunia ke dalam dua zona tanggal dan kalender yang disemangati rukyat) membolehkan transfer rukyat dalam satu zona tanggal (separoh muka bumi, karena transfer ke seluruh muka bumi mustahil). Jadi apabila rukyat terjadi di suatu tempat di zona barat, rukyat itu dapat diberlakukan ke seluruh zona itu, dan tidak dapat diberlakukan ke zona timur. Akibatnya tanggal antara kedua zona itu tidak bisa disatukan, timbul masalah puasa Arafah seperti akan dijelaskan. itu waktu itu satu negara. Oleh karena itu timbul perbedaan pendapat di kalangan para ulama pendukung rukyat tentang boleh atau tidaknya transfer rukyat, dan kalau boleh sejauh mana.
Itulah problematika rukyat. Metode ini tidak dapat menyatukan kalender Islam secara menyeluruh dengan mencakup seluruh dunia. Karena itu dalam Temu Pakar II tahun 2008 para peserta yang hadir menyimpulkan bahwa untuk menyatukan kalender umat Islam sedunia tidak ada jalan lain kecuali menggunakan hisab.
Ketiga, rukyat menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah, karena rukyat itu terbatas liputannya. Bisa terjadi bahwa di Mekah belum ada rukyat sementara di daerah lain (sebelah barat) sudah terjadi rukyat. Atau di Mekah sudah terjadi rukyat sementara di kawasan lain (sebelah timur) belum terjadi rukyat. Problemnya adalah bahwa rukyat dapat menyebabkan orang di kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul adha di kawasan ujung barat itu dan puasa pada hari raya dilarang. Bagi kawasan di sebelah timur Mekah, problemnya adalah bisa jadi hari wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan tanggal 8 Zulhijah di kawasan ujung timur bumi. Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus Zulhijah 1439 H dan 1455 H pada ragaan 2 dan 3.
Ragaan 2 memperlihatkan bahwa hilal Zulhijah 1439 H pada Sabtu sore 11-08-2018 M hanya terlihat pada kawasan kecil dari muka bumi, yaitu di Samudera Pasifik sebelah timur Garis Tanggal Internasional (GTI). Rukyat tersebut pada hari Sabtu tidak mencapai daratan benua Amerika. Rukyat hanya dapat terjadi pada sore itu di Kepulauan Hawai dan pulau-pulau lain di Pasifik sebelah timur GTI. Di ibukota Honolulu ketinggian Bulan sore Sabtu tersebut 09º 7’ 49”. Jadi sudah cukup tinggi untuk dapat dirukyat. Ini artinya orang-orang Muslim di Negara Bagian Hawaii itu memasuki tanggal 1 Zulhijah 1439 H pada hari Ahad 12-08-2018 M, dan tanggal 9 Zulhijah (hari puasa Arafah) jatuh hari Senin 20-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Idul adha) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M.
Sementara itu Mekah pada hari Sabtu sore belum bisa merukyat meskipun Bulan sudah di atas ufuk, karena posisinya masih amat rendah, yaitu 02º 12’ 27”. Data astronomis Bulan pada sore Sabtu 11-08-2018 M di Mekah itu belum memenuhi kriteria Istambul 1978 dan kriteria paling mutakhir dari Audah. Bahkan diteropong pun juga belum akan terlihat. Ini artinya Mekah akan memasuki 1 Zulhijah lusa hari konjungsi, yaitu pada hari Senin 13-08-2018 M, dan 9 Zulhijah (wukuf) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh pada hari Rabu 22-08-2018 M. Jadi dalam kasus ini hari Arafah di Mekah yang jatuh hari Selasa 21-08-2010 M bersamaan dengan Iduladha di Hawaii, sehingga orang Muslim di sana tidak mungkin melaksanakan puasa Arafah sebab berpuasa pada hari raya dilarang hukumnya [tetang hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan Iduladha di zona barat.
Jadi, ternyata rukyat menyebabkan umat Islam di kawasan waktu ujung barat tidak dapat melaksanakan puasa Arafah. Inilah mengapa rukyat terpaksa harus ditinggalkan. Oleh karena itu pula kita tidak dapat dengan enteng mengatakan bahwa untuk haji, bila di Mekah jamaah haji wukuf, maka kita puasa Arafah dan besoknya lebaran haji. Kalau orang di kawasan zona waktu barat menunda masuk bulan Zulhijah yang hilalnya sudah terpampang di ufuk mereka demi menunggu Mekah, maka ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau, serta melanggar ketentuan bahwa “apabila kamu telah melihat hilal puasalah, dan apabila kamu melihatnya berharirayalah.”
Kasus paralel ditampilkan oleh ragaan 3 di atas. Sebalik dari ragaan 2, pada ragaan 3 rukyat Zulhijah 1455 H sudah dimungkinkan di Mekah bilamana cuaca terang dan baik pada hari Ahad 19-02-2034 M dengan ketinggian Bulan 06º 35’ 12” dan busur rukyat (arc of vision) 08º 16’ 32”. Data ini telah memenuhi kriteria rukyat Istambul 1978 dan kriteria Audah. Jadi Mekah memasuki 1 Zulhijah 1455 H pada hari Senin 20-02-2034 M, 9 Zulhijah 1455 H pada hari Selasa 28-02-2034 M dan 10 Zulhijah (Iduladha) pada hari Rabu 1 Maret 2034 M. Sementara itu di Indonesia belum dimungkinkan rukyat pada hari Ahad 19-02-2034 M itu karena posisi hilal masih rendah, di Pelabuhanratu baru 03º 02’ 19”. Ketinggian ini menurut kriteria internasional belum memungkinkan rukyat, sehingga Indonesia akan memasuki 1 Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034, 9 Zulhijah jatuh hari Rabu 1 Maret 2034 M, dan iduladha jatuh kamis 2 maret 2034 M. Dari sini terlihat bahwa hari Arafah di Mekah (Selasa 28-02-2034 M) jatuh bersamaan 8 Zulhijah di Indonesia. Di sini timbul pertanyaan apa orang puasa Arafah tanggal 8 Zulhijah? Inilah problem rukyat yang tidak dapat menyatukan tanggal secara global.
Mengenai rukyat untuk ketinggian Bulan 3º seperti di atas, di Indonesia biasanya diyakini ketinggian demikian memungkinkan rukyat. Akan tetapi kajian ilmiah tidak menunjukkan demikian. Seorang dosen ilmu falak mengatakan bahwa selama 7 tahun pengalamannya merukyat di Obsevatorium Bosscha belum pernah terjadi bahwa bulan berketinggian kurang dari 5º dapat dirukyat.
Memang sering ada klaim rukyat padahal posisi Bulan masih amat rendah, bahkan masih di bawah ufuk. Hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa memang ada dorongan psikologis untuk cepat-cepat melihat hilal sehingga terjadi halusinasi di mana orang merasa melihat hilal padahal hilal sesungguhnya belum ada. Ini terjadi di berbagai negeri baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Arab Saudi penelitian tentang 45 kali Ramadan sejak Ramadan 1380 H sampai dengan Ramadan 1425 H, menunjukkan bahwa dari 45 kali Ramadan itu ternyata 29 kali hilal masih di bawah ufuk tetapi diklaim telah terukyat. Penetapan Zulhijah beberapa tahun terakhir juga ternyata Bulan masih di bawah ufuk. Pada tahun 1428 H (2007 M) penetapan Zulhijah Arab Saudi oleh Majlis al-Qadla’ al-A’la mendapat kecaman teramat pedas dari Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) dan diminta untuk mencabut penetapan tersebut.
Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan bahwa rukyat ternyata tidak memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan kuat agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Seruan ini masih belum banyak disadari lapisan luas masyarakat Muslim karena kekurangan wawasan dan hanya berpegang kepada tradisi yang diwarisi beberapa abad dari zaman lampau. Kenyataan di atas juga menunjukkan bahwa penyatuan penanggalan Islam tidak hanya cukup pada tingkat nasional masing-masing negara, karena adanya masalah puasa Arafah yang menyangkut lintas negara. Penyatuan penanggalan secara nasional saja belum sungguh-sungguh menyatukan karena ada masalah puasa Arafah. Oleh karena itu penyatuan penanggalan Islam itu seyogyanya harus internasional.
Sebagai catatan akhir, marilah kita coba melapangkan dada dan menengok permasalahannya secara luas baik dari segi dalil-dalil nash al-Quran dan hadis maupun dari segi ilmu astronomi yang juga merupakan ilmu Allah “yang diuraikannya untuk menguak ayat-ayat-Nya bagi kaum yang mengetahui” [QS. 10: 5]. Selama pemerintah menggunakan Imkanu Rukyat dengan mensyaratkan 2 derajat, maka perbedaan pasti akan terjadi.. untuk Idul Fitri tahun ini (1432H) metode melihat langsung atau rukyat akan sangat susah dilaksanakan apabila ketinggian hilal masih dibawah 5 derajat, padahal pada waktu 1 syawwal 1432 H nanti, ketinggian hilal masih diposisi 1 derajat. “Selama ini ahli astronomi dunia masih menyangsikan kemampuan manusia dalam melihat hilal diposisi kurang dari 5 derajat, rekor melihat hilal sampai saat ini adalah di angka 5 derajat,”
Selama Perbedaan itu tidak melanggar Syari’at islam ayoo kita jadikan perbedaan itu sebagai sarana agar umatnya senantiasa berfikir, mari kita gunakan akal kita untuk berijtihad (berusaha)


0 comments: