Memasuki atau di akhir Bulan Ramadhan setiap tahun biasanya terjadi perbedaan pendapat mengenai penentuan methode penanggalan baik yang menggunakan Rukyat atau Hisab. Boleh dikatakan "Rukyat vs Hisab" sudah menjadi "duel classico" di bulan Ramadhan. apa itu Rukyat dan Hisab itu sebenarnya dan siapa-siapa ormas pengusungnya.
Beberapa saat yang lalu saya mendapat sebuah article yg sangat bagus dan menarik dari FB kawan yang membahas tentang itu dan ingin saya share disini agar kita semakin jelas dan bisa mengambil sikap ketika Ramadhan tiba dan bukan sekedar ikut-ikutan.
yah sedikit banyaknya article dibawah ini bisa kita jadikan referensi dalam mengambil sikap. but anyhow Diluar
konteks perbedaan penggunaan methode ataupun "ikut siapa". .. besar
harapan kita semua, agar Islam tidak teradu domba oleh pihak2 yang tidak
ingin Islam menjadi "Rahmatan Lil Alamien".
......................
......................
RELEVANSI
HILAL DAN TUMPULNYA ILMU ASTRONOMI KITA
Masalah
perbedaan perhitungan awal ramadhan, penetapan Idul Fitri, penetapan Idul Adha
janganlah membuat kita sebagai umat muslim terpecah belah dan saling
menyalahkan satu sama lain, kita diberikan akal pikiran oleh Allah , agar akal
n pikiran itu bisa kita gunakan dengan baik untuk berfikir , alangkah sayangnya
jika punya akal tetapi masih tidak di gunakan dengan baik oleh pemiliknya.
Dalam masalah perbedaan perhitungan hari ini tidak lepas dari peran 2 ormas
terbesar islam di Indonesia
yaitu : Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
Nahdatul
Ulama (NU) menggunakan metode RUKYAT
Muhammadiyah
menggunakan metode HISAB.
Berikut
ulasannya :
1. RUKYAT
adalah
aktifitas yang dilakukan sekelompok orang untuk mengamati penampakan Hilal atau
bulan sabit yang paling awal, dan akan terlihat setelah Bumi dan Bulan berada
diposisi bujur langit yang sama atau pada saat Matahari terbenam. Setiap awal
bulan (tidak hanya bulan Ramadhan) selalu ditandai dengan munculnya Hilal,
dalam bahasa yang lebih mudah, Hilal adalah cahaya redup dan sangat tipis yang
terpancar dari Matahari di Bulan dan dibayangi oleh Bumi. Kita mungkin
mengetahui ketika Bulan purnama, atau bulan dalam kondisi terang sepenuhnya,
perhitungan kalender menunjukkan tepat tanggal 15 atau pertengahan suatu bulan.
Begitu juga ketika Bulan dalam kondisi gelap total, kalender menunjukkan tepat
diakhir suatu bulan atau tanggal 30, 31, maupun 29 atau 28 tergantung kalender
bulannya (Januari, februari, maret, dan seterusnya…).
Dalil atau
dasar dari penggunaan cara ini dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya
Idul Fitri adalah dengan Hadits Rasulullah Muhammad SAW : “Berpuasalah kamu
karena telah melihat hilal, dan beridulfitrilah karena telah melihat hilal”.
(HR. Jamaah ahli Hadits).
2. HISAB
adalah
perhitungan ilmiah secara matematis dan astronomi untuk menentukan posisi bulan,
baik dalam posisi awal bulan, pertengahan, maupun akhirnya. Dan menjadi dasar
dalam penentuan kalender Hijriyah yang digunakan banyak negara-negara Islam
didunia. Salah satu contoh nyata dari cara Hisab ini adalah penentuan JADWAL
WAKTU SHOLAT FARDHU, baik Sholat Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya yang
sering kita terima ketika awal bulan Ramadhan dan dibagi-bagikan oleh ormas
Islam maupun Departemen Pemerintah sendiri. Didalam Hisab ini, dapat ditentukan
secara terperinci tentang kapan waktu Sholat Dzuhur sampai kedetiknya.
Kita mungkin
tidak menyadari bahwa cara Hisab inilah yang juga digunakan untuk menentukan
awal Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, mungkin karena pemahaman kita
diputarbalikkan oleh media masa dengan istilah-istilah Hilal, Hisab, Rukyat dan
lain-lain tanpa dijelaskan apa maksudnya dalam bahasa Indonesia.
Jika dalam
jadwal waktu sholat fardhu saja kita menerima secara mentah-mentah untuk
mengikuti perhitungannya atau Hisab-nya dalam melakukan sholat Fardhu
sehari-hari tanpa ragu, lalu kenapa dalam perhitungan atau Hisab pada bulan
Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri yang dikeluarkan oleh ahli Hisab banyak yang
ragu? Secara logika, jika kita melakukan Rukyat atau melihat awal bulan untuk
menentukan awal Ramadhan maka seharusnya kita pun harus melihat Matahari ketika
menentukan waktu Sholat Dzuhur, tidak perlu lagi melihat Jadwal Waktu Sholat
yang diberikan oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Itu jika kita ingin
konsisten dengan pendirian kita. Tapi apakah itu yang anda inginkan dizaman
sekarang?
Dalam
tanggapan beberapa ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad Rasyid Rida,
Mustafa az-Zarqa, dan Yusuf al-Qaradhawi perintah Rukyat/Melihat bulan itu
adalah perintah yang ber’illat atau perintah yang beralasan. Alasan kenapa
harus melihat bulan adalah karena umat Muslim pada zaman Rasulullah SAW pada
umumnya adalah ‘ummi’ atau belum mengenal baca tulis dan belum bisa melakukan
perhitungan ilmiah secara matematis dan astronomi atau Hisab, dalam hadits
disebutkan “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi, dalam arti tidak bisa
menulis dan tidak bisa melakukan hisab” (riwayat jamaah ahli hadis).
Lebih lanjut
menurut Rasyid Rida, tugas Rasulullah SAW adalah untuk membebaskan umatnya dari
keadaan ‘ummi’ itu dan beliau tidak boleh membiarkan mereka terus dalam keadaan
‘ummi’ tersebut. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah, “Dia-lah yang telah
mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka sendiri untuk
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka kitab dan kebijaksanaan. Sesungguhnya mereka sebelum itu
benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [Q. 62:2]. Dari kenyataan ini kemudian
Rasyid Rida menyimpulkan bahwa “hukum keadaan ‘ummi’ berbeda dengan hukum
keadaan telah mengetahui baca-tulis dan kebijaksanaan.”
Maksud
beliau adalah, pada zaman di mana orang belum dapat melakukan perhitungan
ilmiah secara matematis atau hisab, seperti di zaman Rasulullah SAW, maka
digunakan cara Rukyat dalam penentuan awal bulan karena itulah sarana yang
tersedia pada zaman itu. Akan tetapi setelah masyarakat mengalami perkembangan
peradaban yang pesat di mana penguasaan astronomi sudah sedemikian canggih,
maka tidak diperlukan lagi Rukyat. Ini sejalan pula dengan kaidah hukum Islam
yang menyatakan, [Al-Hukmu Yaduuru Ma'al 'Illati Wujudan Kaana au 'Adaman]
“Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat.” Artinya apabila Hisab
belum bisa dilakukan karena belum ada yang menguasainya, maka digunakan Rukyat.
Akan tetapi setelah umat tidak lagi ‘ummi’ di mana penguasaan astronomi telah
maju dan dapat diterapkan secara akurat, maka perintah Rukyat tidak berlaku
lagi. Kita cukup menggunakan Hisab. Bahkan Syeikh Ahmad Syakir seorang ahli
hadis – yang oleh al-Qaradawi dikatakan sebagai seorang Salafy tulen yang
biasanya hanya mengamalkan hadis secara harfiah – menegaskan, “Pada waktu itu
adalah saya dan beberapa kawan saya termasuk orang yang menentang pendapat
Syaikh Akbar itu (yakni Syeikh al-Maraghi yang berpandangan Hisab). Sekarang
saya menyatakan bahwa ia benar, dan saya menambahkan: wajib menetapkan
Hilal/Awal Bulan dengan Hisab/Perhitungan Ilmiah Matematis dan Astronomi dalam
segala keadaan, kecuali di tempat tidak ada orang yang mengetahui ilmu itu.”
Rasyid Rida, az-Zarqa,
dan al-Qaradawi menyatakan bahwa Rukyat itu bukan bagian dari ibadah itu
sendiri dan bukan tujuan Syariah, melainkan hanya sarana (wasilah) saja. Oleh
karena itu apabila kita telah menemukan wasilah yang lebih akurat, maka kita
harus menggunakan sarana yang lebih akurat tersebut. Secara khusus al-Qaradawi
menegaskan, “mengapa kita tetap jumud harus bertahan dengan sarana yang tidak
menjadi tujuan Syariah sendiri.”
Apabila kita
mengamati semangat al-Quran, kita melihat bahwa kitab suci ini memerintahkan
pengorganisasian waktu secara cermat karena kalau tidak akan menimbulkan
kerugian (QS. 103: 1-3). Tetapi kitab ini tidak hanya memerintahkan melakukan
pengorganisasian waktu saja secara cermat, tetapi juga memberi beberapa
petunjuk pokok tentang caranya. Yaitu dengan mengamati langit dan berbagai
benda langit yang ada. Dalam kaitan ini Allah menegaskan bahwa Matahari dan
Bulan itu dapat diprediksi dan dihitung geraknya [QS. 55: 5]. Ini bukan hanya
sekedar penegasan deklaratif semata, melainkan merupakan pernyataan imperatif
yang memerintahkan supaya dilakukan perhitungan karena banyak kegunaannya bagi
kehidupan manusia. Antara lain kegunaannya adalah untuk mengetahui bilangan
tahun dan penandaan waktu [QS. 10: 5]. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila
dikatakan bahwa semangat al-Quran sendiri adalah hisab, bukan rukyat. Hal ini
membawa seorang ulama Yordania, Syeikh Syaraf al-Qudhah, kepada kesimpulan
bahwa, “Pada asasnya penentuan awal bulan adalah dengan hisab.”
Jadi
demikianlah ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw sebagaimana
difahami oleh ulama-ulama tersebut. Sekarang kita lanjutkan, selain alasan
syar’i di atas masih ada sejumlah alasan ilmiah dan praktis. Pertama,
pengamalan rukyat mengakibatkan tidak bisa membuat sistem penanggalan.
Alasannya sederhana, yakni awal bulan baru, baru bisa diketahui pada h-1 dan
tidak bisa diketahui jauh hari sebelumnya. Menurut Prof. Dr. Idris Bensari,
Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, umat Islam sampai hari ini belum dapat membuat
suatu sistem penanggalan yang akurat dan berlaku secara terpadu bagi seluruh
umat Islam dunia disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat.
Penggunaan
rukyat telah mengakibatkan timbul beberapa masalah sivil dan agama. Kaum
minoritas Muslim pekerja di Eropa dan Amerika tidak dapat meminta cuti hari
raya (id), karena setiap kali mereka mengajukannya ke perusahaan tempat mereka
bekerja, mereka ditanya tanggal berapa id itu jatuh, agar bisa disiapkan
pengganti mereka hari itu, mereka tidak dapat memberikan jawaban pasti, karena
jatuhnya hari id itu baru dapat ditentukan sehari sebelumnya melalui rukyat dan
tidak dapat ditentukan jauh hari sebelumnya karena tidak ada kalender yang
pasti. Karena tidak dapat memberikan kepastian mereka tidak dapat diberi cuti.
Kedua,
rukyat tidak dapat menyatukan tanggal dan karenanya tidak dapat menyatukan
momen-momen keagamaan umat Islam di seluruh dunia dalam hari yang sama.
Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda hari selebrasi momen
keagamaan mereka. Hal itu karena pada hari terjadinya rukyat awal bulan baru,
rukyat itu terbatas jangkauannya dan tidak meliputi seluruh permukaan bumi.
Akibatnya ada bagian muka bumi yang sudah berhasil rukyat, dan ada bagian muka
bumi yang tidak dapat merukyat. Yang sudah berhasil rukyat memasuki bulan baru
malam itu dan keesokan harinya, sedang yang belum dapat merukyat memasuki bulan
baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan hari raya misalnya. Untuk dapat
melihat kenyataan ini, mari kita lihat beberapa proyeksi dan visualisasi rukyat
ke atas peta bumi, seperti berikut [perhitungan dan peta dibuat berdasarkan
al-Mawaqit ad-Daqiqah].
Ditambah
lagi dengan hadis Kuraib yang menyatakan bahwa rukyat tidak dapat ditranfer ke
kawasan yang tidak berhasil merukyat seperti rukyat Damaskus tidak dapat
ditransfer ke Madinah sebagaimana ditegaskan dalam hadis tersebut meskipun
kedua kota ada
yang mengatakan rukyat dapat ditransfer (diberlakukan ke daerah yang tidak bisa
merukyat) sejauh batas salat belum dapat diqasar. Ada yang berpendapat boleh ditransfer ke
negeri berdekatan, bahkan ada yang berpendapat boleh transfer rukyat ke seluruh
dunia, walapun pendapat ini secara astronomis adalah mustahil. Di zaman modern,
para pendukung kalender bizonal (kalender yang membagi dunia ke dalam dua zona
tanggal dan kalender yang disemangati rukyat) membolehkan transfer rukyat dalam
satu zona tanggal (separoh muka bumi, karena transfer ke seluruh muka bumi
mustahil). Jadi apabila rukyat terjadi di suatu tempat di zona barat, rukyat
itu dapat diberlakukan ke seluruh zona itu, dan tidak dapat diberlakukan ke
zona timur. Akibatnya tanggal antara kedua zona itu tidak bisa disatukan,
timbul masalah puasa Arafah seperti akan dijelaskan. itu waktu itu satu negara.
Oleh karena itu timbul perbedaan pendapat di kalangan para ulama pendukung
rukyat tentang boleh atau tidaknya transfer rukyat, dan kalau boleh sejauh
mana.
Itulah
problematika rukyat. Metode ini tidak dapat menyatukan kalender Islam secara
menyeluruh dengan mencakup seluruh dunia. Karena itu dalam Temu Pakar II tahun
2008 para peserta yang hadir menyimpulkan bahwa untuk menyatukan kalender umat
Islam sedunia tidak ada jalan lain kecuali menggunakan hisab.
Ketiga,
rukyat menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah, karena rukyat itu terbatas
liputannya. Bisa terjadi bahwa di Mekah belum ada rukyat sementara di daerah
lain (sebelah barat) sudah terjadi rukyat. Atau di Mekah sudah terjadi rukyat
sementara di kawasan lain (sebelah timur) belum terjadi rukyat. Problemnya
adalah bahwa rukyat dapat menyebabkan orang di kawasan ujung barat bumi tidak
dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan
hari Idul adha di kawasan ujung barat itu dan puasa pada hari raya dilarang.
Bagi kawasan di sebelah timur Mekah, problemnya adalah bisa jadi hari wukuf di
Arafah jatuh bersamaan dengan tanggal 8 Zulhijah di kawasan ujung timur bumi.
Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus Zulhijah 1439 H dan 1455 H pada ragaan
2 dan 3.
Ragaan 2
memperlihatkan bahwa hilal Zulhijah 1439 H pada Sabtu sore 11-08-2018 M hanya
terlihat pada kawasan kecil dari muka bumi, yaitu di Samudera Pasifik sebelah
timur Garis Tanggal Internasional (GTI). Rukyat tersebut pada hari Sabtu tidak
mencapai daratan benua Amerika. Rukyat hanya dapat terjadi pada sore itu di
Kepulauan Hawai dan pulau-pulau lain di Pasifik sebelah timur GTI. Di ibukota Honolulu ketinggian Bulan
sore Sabtu tersebut 09º 7’ 49”. Jadi sudah cukup tinggi untuk dapat dirukyat.
Ini artinya orang-orang Muslim di Negara Bagian Hawaii itu memasuki tanggal 1
Zulhijah 1439 H pada hari Ahad 12-08-2018 M, dan tanggal 9 Zulhijah (hari puasa
Arafah) jatuh hari Senin 20-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Idul adha) jatuh
hari Selasa 21-08-2018 M.
Sementara
itu Mekah pada hari Sabtu sore belum bisa merukyat meskipun Bulan sudah di atas
ufuk, karena posisinya masih amat rendah, yaitu 02º 12’ 27”. Data astronomis
Bulan pada sore Sabtu 11-08-2018 M di Mekah itu belum memenuhi kriteria
Istambul 1978 dan kriteria paling mutakhir dari Audah. Bahkan diteropong pun
juga belum akan terlihat. Ini artinya Mekah akan memasuki 1 Zulhijah lusa hari
konjungsi, yaitu pada hari Senin 13-08-2018 M, dan 9 Zulhijah (wukuf) jatuh
hari Selasa 21-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh pada hari Rabu
22-08-2018 M. Jadi dalam kasus ini hari Arafah di Mekah yang jatuh hari Selasa
21-08-2010 M bersamaan dengan Iduladha di Hawaii, sehingga orang Muslim di sana
tidak mungkin melaksanakan puasa Arafah sebab berpuasa pada hari raya dilarang
hukumnya [tetang hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan Iduladha di zona
barat.
Jadi,
ternyata rukyat menyebabkan umat Islam di kawasan waktu ujung barat tidak dapat
melaksanakan puasa Arafah. Inilah mengapa rukyat terpaksa harus ditinggalkan.
Oleh karena itu pula kita tidak dapat dengan enteng mengatakan bahwa untuk
haji, bila di Mekah jamaah haji wukuf, maka kita puasa Arafah dan besoknya
lebaran haji. Kalau orang di kawasan zona waktu barat menunda masuk bulan
Zulhijah yang hilalnya sudah terpampang di ufuk mereka demi menunggu Mekah,
maka ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau, serta melanggar
ketentuan bahwa “apabila kamu telah melihat hilal puasalah, dan apabila kamu
melihatnya berharirayalah.”
Kasus
paralel ditampilkan oleh ragaan 3 di atas. Sebalik dari ragaan 2, pada ragaan 3
rukyat Zulhijah 1455 H sudah dimungkinkan di Mekah bilamana cuaca terang dan
baik pada hari Ahad 19-02-2034 M dengan ketinggian Bulan 06º 35’ 12” dan busur
rukyat (arc of vision) 08º 16’ 32”. Data ini telah memenuhi kriteria rukyat
Istambul 1978 dan kriteria Audah. Jadi Mekah memasuki 1 Zulhijah 1455 H pada
hari Senin 20-02-2034 M, 9 Zulhijah 1455 H pada hari Selasa 28-02-2034 M dan 10
Zulhijah (Iduladha) pada hari Rabu 1 Maret 2034 M. Sementara itu di Indonesia
belum dimungkinkan rukyat pada hari Ahad 19-02-2034 M itu karena posisi hilal
masih rendah, di Pelabuhanratu baru 03º 02’ 19”. Ketinggian ini menurut
kriteria internasional belum memungkinkan rukyat, sehingga Indonesia akan
memasuki 1 Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034, 9 Zulhijah jatuh hari Rabu 1
Maret 2034 M, dan iduladha jatuh kamis 2 maret 2034 M. Dari sini terlihat bahwa
hari Arafah di Mekah (Selasa 28-02-2034 M) jatuh bersamaan 8 Zulhijah di
Indonesia. Di sini timbul pertanyaan apa orang puasa Arafah tanggal 8 Zulhijah?
Inilah problem rukyat yang tidak dapat menyatukan tanggal secara global.
Mengenai
rukyat untuk ketinggian Bulan 3º seperti di atas, di Indonesia biasanya
diyakini ketinggian demikian memungkinkan rukyat. Akan tetapi kajian ilmiah
tidak menunjukkan demikian. Seorang dosen ilmu falak mengatakan bahwa selama 7
tahun pengalamannya merukyat di Obsevatorium Bosscha belum pernah terjadi bahwa
bulan berketinggian kurang dari 5º dapat dirukyat.
Memang
sering ada klaim rukyat padahal posisi Bulan masih amat rendah, bahkan masih di
bawah ufuk. Hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa memang ada dorongan
psikologis untuk cepat-cepat melihat hilal sehingga terjadi halusinasi di mana
orang merasa melihat hilal padahal hilal sesungguhnya belum ada. Ini terjadi di
berbagai negeri baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Di Arab Saudi penelitian tentang 45 kali Ramadan sejak
Ramadan 1380 H sampai dengan Ramadan 1425 H, menunjukkan bahwa dari 45 kali
Ramadan itu ternyata 29 kali hilal masih di bawah ufuk tetapi diklaim telah
terukyat. Penetapan Zulhijah beberapa tahun terakhir juga ternyata Bulan masih
di bawah ufuk. Pada tahun 1428 H (2007 M) penetapan Zulhijah Arab Saudi oleh
Majlis al-Qadla’ al-A’la mendapat kecaman teramat pedas dari Islamic Crescents’
Observation Project (ICOP) dan diminta untuk mencabut penetapan tersebut.
Kenyataan-kenyataan
di atas menunjukkan bahwa rukyat ternyata tidak memberikan suatu penandaan
waktu yang pasti dan komprehensif dan karena itu tidak dapat menata waktu
pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa
dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia
internasional sekarang muncul seruan kuat agar kita memegangi hisab dan tidak
lagi menggunakan rukyat. Seruan ini masih belum banyak disadari lapisan luas
masyarakat Muslim karena kekurangan wawasan dan hanya berpegang kepada tradisi
yang diwarisi beberapa abad dari zaman lampau. Kenyataan di atas juga
menunjukkan bahwa penyatuan penanggalan Islam tidak hanya cukup pada tingkat
nasional masing-masing negara, karena adanya masalah puasa Arafah yang
menyangkut lintas negara. Penyatuan penanggalan secara nasional saja belum
sungguh-sungguh menyatukan karena ada masalah puasa Arafah. Oleh karena itu
penyatuan penanggalan Islam itu seyogyanya harus internasional.
Sebagai
catatan akhir, marilah kita coba melapangkan dada dan menengok permasalahannya
secara luas baik dari segi dalil-dalil nash al-Quran dan hadis maupun dari segi
ilmu astronomi yang juga merupakan ilmu Allah “yang diuraikannya untuk menguak
ayat-ayat-Nya bagi kaum yang mengetahui” [QS. 10: 5]. Selama
pemerintah menggunakan Imkanu Rukyat dengan mensyaratkan 2 derajat, maka perbedaan
pasti akan terjadi.. untuk Idul Fitri tahun ini (1432H) metode melihat langsung
atau rukyat akan sangat susah dilaksanakan apabila ketinggian hilal masih
dibawah 5 derajat, padahal pada waktu 1 syawwal 1432 H nanti, ketinggian hilal
masih diposisi 1 derajat. “Selama ini ahli astronomi dunia masih menyangsikan
kemampuan manusia dalam melihat hilal diposisi kurang dari 5 derajat, rekor
melihat hilal sampai saat ini adalah di angka 5 derajat,”
Selama
Perbedaan itu tidak melanggar Syari’at islam ayoo kita jadikan perbedaan itu
sebagai sarana agar umatnya senantiasa berfikir, mari kita gunakan akal kita
untuk berijtihad (berusaha)